38°C
08/10/2025
Berita Daerah

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu): Program Donasi Rp1.000 per Hari dan Pro-Kontranya di Jawa Barat

  • Oktober 8, 2025
  • 3 min read
Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu): Program Donasi Rp1.000 per Hari dan Pro-Kontranya di Jawa Barat

INFO BANDUNG BARAT — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memperkenalkan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu)—program donasi Rp1.000 per hari yang ditujukan untuk membantu masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan. Program ini digagas sebagai bentuk solidaritas dan gotong royong khas Sunda, berlandaskan nilai silih asah, silih asih, silih asuh yang menekankan kebersamaan sosial. Melalui surat edaran resmi, gerakan ini mengajak ASN, pelajar, pekerja swasta, hingga warga umum untuk berpartisipasi. Dana akan disalurkan lewat rekening khusus dengan laporan publik sebagai bentuk transparansi.

Secara ideal, gerakan ini diharapkan menjadi bentuk partisipasi kecil yang konsisten dari masyarakat untuk membantu sesama. Hanya dengan Rp1.000 per hari, jika dilakukan bersama, hasilnya bisa signifikan. Pemerintah daerah menilai inisiatif ini dapat memperkuat kesejahteraan sosial tanpa menambah beban anggaran pemerintah. Namun, implementasinya tidak lepas dari perdebatan. Siapa yang menentukan keadaan “darurat” atau “mendesak”? Bagaimana memastikan partisipasi benar-benar sukarela dan bukan tekanan sosial terselubung? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di tengah optimisme pemerintah terhadap semangat gotong royong yang ingin dibangun.

Kritik datang dari anggota DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari, yang menilai program ini berpotensi menimbulkan beban baru bagi ASN dan pelajar. Menurutnya, setiap bentuk donasi harus bersifat sukarela, bukan diwajibkan atau dipaksakan secara struktural. Ia juga menyoroti kemungkinan benturan dengan aturan yang melarang pungutan di sekolah. Di masyarakat pun muncul respons serupa. Beberapa warga, terutama di daerah seperti Tasikmalaya, menilai Rp1.000 per hari memang kecil, tetapi tetap berarti bagi mereka yang hidup pas-pasan. Ada pula pandangan bahwa kewajiban sosial semacam ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan beban tambahan bagi rakyat yang sudah membayar pajak.

Dalam konteks akademik, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora (2021) mencatat bahwa gotong royong adalah modal sosial penting dalam pembangunan daerah. Namun, ketika nilai tersebut dilembagakan oleh negara, partisipasi masyarakat harus dijaga agar tetap inklusif dan sukarela. Jika tidak, nilai solidaritas dapat bergeser menjadi tekanan sosial. Sementara dalam buku Ekonomi Zakat dan Keadilan Sosial (2019) dijelaskan bahwa zakat adalah kewajiban bagi yang mampu, sedangkan donasi sosial seperti Poe Ibu bersifat sukarela. Ketika donasi diatur terlalu ketat atau disertai unsur kewajiban, hal itu berisiko menimbulkan kesan pajak terselubung yang justru membebani kelompok ekonomi lemah.

Pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan menegaskan bahwa program Poe Ibu bukan kebijakan nasional, melainkan inisiatif daerah. Pemerintah mendukung nilai solidaritas yang terkandung di dalamnya, tetapi mengingatkan agar seluruh partisipasi tetap sukarela. Prinsip ini penting agar kebijakan sosial tidak menimbulkan ketimpangan baru di masyarakat. Dalam Jurnal Palaguna (2022) disebutkan bahwa keberlanjutan kebijakan sosial sangat bergantung pada rasa memiliki masyarakat terhadap program tersebut, bukan karena tekanan atau kewajiban tersembunyi.

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) memang lahir dari niat baik untuk menumbuhkan solidaritas di Jawa Barat. Namun, tanpa sistem pengawasan yang kuat, kejelasan mekanisme, serta penegasan sifat sukarela, program ini berpotensi menjadi beban tambahan bagi sebagian masyarakat. Gotong royong sejati seharusnya tumbuh dari kesadaran, bukan kewajiban. Jika dijalankan dengan prinsip transparansi dan keadilan, Poe Ibu bisa menjadi simbol solidaritas baru yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *