38°C
25/09/2025
Edukasi Lingkungan Hidup

Banjir Bali Jadi Alarm Kerusakan Ekologis, Lembang Terancam Risiko Berlapis

  • September 15, 2025
  • 3 min read
Banjir Bali Jadi Alarm Kerusakan Ekologis, Lembang Terancam Risiko Berlapis

INFO BANDUNG BARAT–Banjir besar yang melanda Bali pada September 2025 menewaskan belasan orang, merusak ratusan rumah, dan mengganggu aktivitas masyarakat. Bencana ini bukan hanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem, melainkan juga akibat tata ruang yang semrawut dan kerusakan ekologis. Peristiwa tersebut menjadi pengingat penting bagi daerah lain di Indonesia, termasuk Lembang, Jawa Barat, yang menghadapi masalah serupa bahkan dengan risiko tambahan dari keberadaan Sesar Lembang.

Alih fungsi lahan di Bali telah mengubah banyak sawah dan hutan menjadi vila, hotel, serta kawasan komersial. Perubahan ini mengurangi daya resap air tanah dan mempercepat limpasan permukaan. Kondisi tersebut memperbesar kemungkinan banjir bandang ketika curah hujan tinggi. Fenomena serupa terjadi di Lembang. Kawasan yang menjadi destinasi wisata utama di Jawa Barat ini mengalami alih fungsi lahan besar-besaran. Lahan yang semula berupa hutan dan perkebunan banyak berubah menjadi kafe, glamping, restoran, hingga taman hiburan. Penelitian menunjukkan bahwa kawasan Bandung Utara, termasuk Lembang, telah kehilangan sekitar 60 persen tutupan hutan dalam tiga dekade terakhir.

Masalah tata ruang semakin memperburuk situasi. Di Bali, pembangunan yang mendesak bantaran sungai mengurangi daya tampung aliran air sehingga banjir bandang sulit dihindari. Di Lembang, pembangunan wisata di daerah resapan air dan kawasan lindung memperbesar ancaman banjir, longsor, dan penurunan ketersediaan air bersih. Tekanan pembangunan yang tidak terkendali ini juga berdampak pada kualitas lingkungan yang menjadi daya tarik utama pariwisata itu sendiri.

Risiko di Lembang semakin kompleks dengan keberadaan Sesar Lembang. Patahan aktif sepanjang 29 kilometer ini memiliki potensi gempa signifikan sebagaimana tercatat dalam penelitian geologi. Jika gempa terjadi, dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat, tetapi juga sektor pariwisata yang selama ini menjadi penggerak ekonomi daerah. Dengan alih fungsi lahan yang masif, hilangnya vegetasi, serta padatnya bangunan wisata di jalur rawan, kerentanan bencana di Lembang bersifat berlapis.

Kondisi ini diperburuk oleh semakin terpinggirkannya kearifan lokal. Bali memiliki sistem Subak dan filosofi Tri Hita Karana yang berfungsi menjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas, namun kini banyak ditinggalkan. Lembang juga mengenal tradisi Sunda seperti leuweung larangan dan pengelolaan talaga untuk menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi praktik tersebut semakin jarang dipertahankan. Kehilangan kearifan lokal ini membuat masyarakat kehilangan mekanisme sosial-budaya dalam melindungi lingkungan mereka.

Pelajaran dari Bali menunjukkan pentingnya pengendalian pembangunan. Lembang perlu segera memperkuat langkah mitigasi seperti melakukan audit izin wisata di kawasan lindung, menghijaukan kembali lahan kritis, membangun sumur resapan dan biopori, memperluas ruang terbuka hijau, serta merancang tata ruang yang mempertimbangkan ancaman Sesar Lembang. Tanpa upaya komprehensif, kerugian ekologis dan sosial akan semakin besar di masa depan.

Kasus banjir Bali membuktikan bahwa kerusakan ekologis dan tata ruang yang buruk dapat membawa bencana besar. Dengan kondisi alih fungsi lahan, tekanan pariwisata, kehilangan hutan, serta risiko gempa di Sesar Lembang, kawasan wisata ini berada di persimpangan yang krusial. Jika tata ruang dan pengelolaan lingkungan tidak segera dibenahi, Lembang berpotensi menghadapi dampak bencana berlapis yang lebih parah.

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *