DPR Rampungkan Pembahasan RUU KUHAP dalam Dua Hari, Publik Pertanyakan Proses

INFO BANDUNG BARAT–Komisi III DPR RI telah menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebanyak 1.676 poin hanya dalam waktu dua hari, yaitu pada 9 dan 10 Juli 2025. Langkah cepat ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, termasuk kelompok masyarakat sipil, yang menilai proses tersebut terburu-buru dan tidak melibatkan publik secara bermakna.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa KUHAP yang berlaku saat ini sudah tidak relevan dan perlu segera diganti. Menurutnya, KUHAP baru akan memperkuat hak-hak individu dalam proses hukum serta memperbesar peran advokat. Pemerintah juga menyebut urgensi pembahasan ini berkaitan erat dengan pelaksanaan KUHP baru yang akan berlaku pada Januari 2026.
Namun, sejumlah lembaga hukum dan organisasi masyarakat sipil mengkritisi substansi serta proses penyusunan RUU tersebut. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai sejumlah pasal dalam RUU KUHAP berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sejumlah Pasal RUU KUHAP yang Dinilai Bermasalah
Beberapa pasal yang mendapat sorotan dari masyarakat sipil antara lain:
● Pasal 5 huruf d: Memberi kewenangan kepada penyidik untuk “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Ketentuan ini dinilai terlalu luas dan tidak memiliki batasan yang jelas.
● Pasal 16: Memuat metode penyelidikan seperti pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung, hingga penyerahan di bawah pengawasan. PBHI menilai pendekatan ini dapat melanggar prinsip proporsionalitas dalam hukum acara pidana.
● Pasal 90: Menyebutkan bahwa penangkapan dapat dilakukan tanpa batas waktu dalam kondisi tertentu. Hal ini bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional yang membatasi penangkapan maksimal 48 jam tanpa keputusan hakim.
● Pasal 93 ayat (5) huruf b dan d: Memungkinkan penangkapan dengan alasan “menghambat proses pemeriksaan” atau “memberikan informasi tidak sesuai fakta”. Tafsir atas frasa tersebut dinilai subjektif dan rentan disalahgunakan.
● Pasal 106 ayat (4): Memberikan kewenangan penggeledahan tanpa izin pengadilan apabila dianggap dalam “keadaan mendesak”. Kriteria keadaan mendesak tersebut belum dirumuskan secara objektif.
Kritik Terhadap Proses Legislasi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai pembahasan RUU ini tidak memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna. Mereka menyebut permintaan informasi terkait draf RUU yang diajukan sejak Februari 2025 tidak ditanggapi, dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan bersama DPR tidak membahas substansi secara terbuka.
Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, membantah bahwa proses pembahasan dilakukan tergesa-gesa. Ia menyatakan bahwa rapat-rapat terkait RUU KUHAP telah berjalan sejak lama. Ketua Komisi III DPR RI bahkan menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan hadir dan memantau proses legislasi secara langsung di Gedung DPR.
Meski demikian, berbagai catatan menunjukkan bahwa draf RUU KUHAP versi DPR muncul secara tiba-tiba pada awal Februari 2025 dan telah ditetapkan menjadi draf resmi pada Maret, tanpa konsultasi publik yang memadai.
Implikasi terhadap Penegakan Hukum
RUU KUHAP akan menjadi dasar hukum tata cara aparat penegak hukum, mulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, hingga penyidikan. Oleh karena itu, masyarakat sipil menilai isi dan proses penyusunannya harus dikawal secara ketat agar tidak menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan.
Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan bahwa sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024 terdapat 15 kasus salah tangkap yang melibatkan aparat kepolisian. Sebanyak 23 orang menjadi korban, 9 di antaranya mengalami luka fisik. Praktik penyiksaan dalam tahanan juga tercatat masih terjadi secara rutin, dengan lebih dari 700 kasus sepanjang 2011 hingga 2019, dan 63 korban meninggal dunia.
RUU KUHAP dikhawatirkan akan memperkuat peran institusi kepolisian tanpa pengawasan yang sepadan, terutama karena dalam draf terbaru disebut bahwa penyelidikan terhadap semua tindak pidana menjadi kewenangan utama polisi.
Rangkaian Regulasi dan Konsentrasi Kekuasaan
Pembahasan RUU KUHAP berlangsung bersamaan dengan revisi Undang-Undang TNI dan UU Polri. Ketiganya dinilai sebagai bagian dari pola konsolidasi kekuasaan negara. Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebut bahwa kekuatan lembaga negara semakin besar, sementara ruang partisipasi dan perlindungan masyarakat sipil justru menyempit.
Komposisi parlemen yang dikuasai mayoritas partai pendukung pemerintah juga menjadi faktor penting. Koalisi Indonesia Maju Plus saat ini menguasai sekitar 80% kursi DPR. Kondisi ini mempermudah pengesahan undang-undang yang dinilai kontroversial meskipun mendapat penolakan publik.