38°C
30/09/2025
People

Karatagan Bandung Barat, Sering Dinyanyikan Namun Nasib Penciptanya Mengiris Hati

  • Juli 29, 2025
  • 4 min read
Karatagan Bandung Barat, Sering Dinyanyikan Namun Nasib Penciptanya Mengiris Hati

INFO BANDUNG BARAT–H. Ase Rukmantara datang menjelang petang. Ia mengenakan setelan jas abu-abu, kemeja bergaris yang kebesaran, dan peci hitam yang melekat rapi di kepalanya. Sepasang kacamata baca menggantung di dada. Di usianya yang ke-72, ia melangkah perlahan menuju rumah seorang warga di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat—seseorang yang menghubungkannya dengan tim Info Bandung Barat.

Dari rumahnya di Cipatat, ia menempuh perjalanan menggunakan angkutan kota. Di dalam tas kecil yang dibawanya, terdapat beberapa piagam penghargaan yang kertasnya mulai menguning. Isinya mengukuhkan dirinya sebagai pencipta lagu Karatagan Bandung Barat dan Hymne Bandung Barat, dua lagu resmi Kabupaten Bandung Barat yang sejak bertahun-tahun lalu rutin diputar dan dinyanyikan di sekolah, kantor, dan acara pemerintahan.

“Saya cuma ingin pengakuan,” katanya pelan. “Lagu saya dipakai terus. Tapi saya enggak pernah diundang.”

Lagu dari Cikamuning yang Jadi Identitas

Lagu Karatagan Bandung Barat dan Hymne Bandung Barat diciptakan oleh Ase pada masa-masa awal terbentuknya Kabupaten Bandung Barat. Ia menggubah lagu tersebut di Cikamuning, dalam kondisi yang jauh dari kemewahan. Tak ada studio, tak ada tim produksi. Hanya ketulusan untuk menyumbang karya bagi tanah kelahiran yang sedang membentuk identitasnya sendiri.

Saat itu ada lomba cipta lagu daerah yang digelar oleh pemerintah kabupaten. Ase tidak punya ekspektasi tinggi. Ia hanya datang karena diminta, tanpa mengira karyanya akan diikutsertakan. Saat pengumuman, ia justru dinobatkan sebagai pemenang pertama untuk dua kategori sekaligus.

“Saya juga kaget waktu itu. Enggak nyangka dua-duanya menang,” ujarnya.

Piagam kemenangan diserahkan dalam sebuah acara di salah satu hotel di Lembang. Namun setelah itu, semuanya menghilang begitu saja. Tidak ada perjanjian, tidak ada MoU, tidak ada komunikasi lanjutan.

“Biasanya kalau ikut pasanggiri, ada anggaran yang disediakan buat pencipta lagu. Ini mah enggak ada sama sekali. Bahkan diundang juga enggak pernah.”

Padahal dua lagu itu kini menjadi lagu wajib di berbagai kegiatan resmi kabupaten. Anak-anak TK sampai SMA menyanyikannya dalam pembelajaran lokal. Di kantor-kantor pemerintah, lagu itu berkumandang saat upacara. Di berbagai lomba paduan suara daerah, lagunya selalu menjadi lagu wajib bagi peserta. Tapi tak satu pun hak atas ciptaan itu pernah diberikan kepada Ase.

Janji yang Tak Pernah Ditepati

Pada periode kepemimpinan Bupati Aa Umbara Sutisna, Ase sempat mendapat harapan. Dalam sebuah kesempatan, sang bupati menyampaikan secara pribadi bahwa lagunya akan diberikan penghargaan layak.

“Kang, kalau saya jadi bupati mah tenang, itu lagu dibayar sama saya,” ucapnya saat itu.

Namun janji itu tak pernah sampai pada tindakan nyata. Hingga masa jabatan berakhir, tak ada satu pun bentuk kompensasi yang diberikan. Lagu terus dipakai, namun penciptanya tidak mendapat bagian apa pun.

Kini, dua lagu tersebut belum juga didaftarkan ke HAKI. Menurut Ase, karena lagu itu tercipta dalam konteks lomba yang digelar oleh pemerintah, maka yang berwenang untuk mendaftarkannya adalah pemerintah kabupaten, bukan dirinya sebagai individu.

“Kalau soal uang kadeudeuh, saya cuma ingin kejelasan. Lagu ini dipakai semua orang. Masa penciptanya enggak dianggap ada?”

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karya ciptaannya. Terlebih jika karya itu digunakan secara luas dalam kegiatan kelembagaan dan pendidikan oleh institusi negara.

Tersingkir dari Cerita yang Ia Tulis

Ase bukan pendatang baru dalam dunia seni tradisi. Sebelum menciptakan lagu untuk Bandung Barat, ia sudah menggubah lagu untuk Kabupaten Bogor dan aktif di berbagai kegiatan kesenian Sunda.

Namun justru di tanah kelahiran sendiri, ia merasa tak diakui. Tak pernah lagi diundang pada peringatan hari jadi kabupaten. Tak pernah diminta hadir dalam sosialisasi atau pelatihan. Namanya tak disebut, wajahnya tak dikenalkan.

“Saya sudah enggak berharap banyak. Tapi setidaknya disebutlah, kalau lagu itu ciptaan saya.”

Kini ia hanya bisa menyaksikan dari jauh bagaimana lagunya berkumandang. Ia tak menuntut banyak. Tapi sebagai pencipta, ia tahu bahwa ada hak yang seharusnya diberikan.

Bagi Ase, ini bukan sekadar persoalan uang. Ini soal bagaimana sebuah karya, yang jadi identitas bersama, tetap menyisakan ruang untuk mengingat siapa yang pertama kali menuliskannya.

Kini ia menggantungkan harapannya kepada pemimpin daerah saat ini yaitu Bupati Jeje Ritchie Ismail dan Wakil Bupati Asep Ismail, agar para Aparatur Sipil Negara di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan masyarakat tak lupa akan sejarah.

Harapan lainnya ia ingin bangunan masjid di dekat tempat tinggalnya di Cipatat yang ia bangun bisa segera rampung.

“Kalau lagu ini dinyanyikan terus, ya syukur. Tapi kalau saya masih diingat dan diberi hak, itu yang bikin saya betul-betul merasa dihargai,” ujarnya pelan, sambil merapikan kembali piagam-piagam yang telah lama ia simpan.***

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *