38°C
14/10/2025
Edukasi Lingkungan Hidup

Kebijakan 10% Etanol: Antara Kemandirian Energi, Dampak Lingkungan, dan Konflik Masyarakat Adat

  • Oktober 13, 2025
  • 2 min read
Kebijakan 10% Etanol: Antara Kemandirian Energi, Dampak Lingkungan, dan Konflik Masyarakat Adat

INFO BANDUNG BARAT — Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan kebijakan mandatori pencampuran etanol sebesar 10% dalam bensin (E10) dalam tiga tahun ke depan. Langkah ini diklaim sebagai upaya menuju kemandirian energi dan pengurangan emisi karbon, namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, proyek E10 akan meningkatkan kebutuhan bahan baku nabati seperti tebu, singkong, dan sorgum. Untuk itu, pemerintah menargetkan pembangunan dua pabrik etanol berbahan baku tebu dan singkong, dengan wilayah prioritas berada di Merauke, Papua Selatan. Namun, perluasan perkebunan ini menimbulkan konflik dengan masyarakat adat yang wilayahnya dijadikan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada Gula dan Bioetanol.

Menurut laporan BBC Indonesia (2025), masyarakat adat di Merauke mengalami penyerobotan lahan dan kekerasan akibat perluasan perkebunan tebu. Kasus Marga Kwipalo menjadi contoh nyata konflik agraria yang dipicu oleh proyek ini. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati akan memperparah kondisi ekologis, meningkatkan risiko banjir, serta memperbesar emisi karbon.

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti bahwa proyek bioetanol di Merauke berpotensi mengulangi kesalahan proyek-proyek energi hijau sebelumnya, seperti biomassa dan nikel, yang justru menimbulkan penggusuran dan konflik horizontal. KPA menyebut, akar persoalannya terletak pada absennya pengakuan hukum terhadap tanah adat.

Di sisi lain, Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) menyambut baik kebijakan E10. Mereka menilai, kebijakan ini bisa memperkuat industri energi dalam negeri dan mengurangi impor bahan bakar fosil. Namun, mereka juga mengakui perlunya perluasan lahan untuk mengejar target produksi, yang berpotensi menimbulkan tekanan baru terhadap hutan dan lahan masyarakat.

Secara teknis, etanol memang terbukti mampu meningkatkan nilai oktan bahan bakar dan menurunkan emisi gas buang kendaraan. Namun, menurut riset Renewable and Sustainable Energy Reviews (2023), manfaat lingkungan dari bioetanol akan hilang bila bahan bakunya dihasilkan melalui deforestasi atau perampasan lahan. Artinya, energi yang disebut “hijau” bisa menjadi paradoksal jika tidak memperhatikan sumber produksinya.

Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyarankan agar bahan baku etanol diambil dari lahan-lahan terlantar, bukan hutan alam atau tanah adat. Ia menegaskan, keberlanjutan energi harus diimbangi dengan keadilan sosial dan lingkungan. “Kalau mau serius, manfaatkan lahan yang sudah tidak produktif. Jangan ambil dari wilayah adat,” ujarnya.

Kebijakan 10% etanol memang menawarkan harapan baru bagi kemandirian energi nasional. Namun, di tengah ancaman deforestasi dan konflik agraria, tantangannya adalah memastikan bahwa “energi bersih” tidak justru meninggalkan jejak kotor di tanah masyarakat adat dan ekosistem alam Indonesia.***

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *