INFO BANDUNG BARAT—Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten, plos ka kolong bapa satar buleneng.
Itulah penggalan lirik utuh dari lagu kakawihan barudak berjudul ‘Cing Cangkeling’. Biasanya lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak saat bermain petak umpet bersama teman-temannya.
Di balik sederhananya lagu ini, terdapat makna mendalam yang ditujukan kepada manusia agar selalu rendah hati dan senantiasa mengingat kuasa Tuhan. Merangkum dari unggahan video di kanal Youtube priangan.com tentang ulasan lagu-lagu kakawihan barudak. Berikut adalah makna-makna di balik lagu Cing Cangkeling:
1. Ingatkan Manusia agar Sadar atas Segala Perbuatannya
Sebagaimana tertulis dalam buku Kawih/Tembang Anak-Anak di Kalangan Kebudayaan Sunda dan Jawa, di setiap baris lagu Cing Cangkeling memiliki pesan kebaikan masing-masing.
Dalam baris pertama tertulis Cing yang bisa diartikan sebagai ungkapan permohonan agar ‘diam’ dan Cangkeling yang artinya ‘menyendiri’ Secara harfiah, kata Cing Cangkeling artinya ‘mari menyendiri atau menyepi’. Dalam lirik tersebut terdapat pesan tersirat untuk eling.
Eling berarti ingat kepada Tuhan, artinya orang akan ingat kepada Tuhan ketika ia mengenal dirinya atau dalam arti lain menyendiri/menyepi untuk megenali diri sendiri.
2. Ingatkan Manusia untuk Berguna bagi Banyak Orang
Kemudian penggalan selanjutnya terdapat lirik berbunyi manuk cingkleung cindeten yang artinya ‘burung cacat bertengger’. Manuk artinya burung, atau dalam hal ini merupakan bentuk metafora dari ruh manusia.
Penggalan tersebut berupaya meminta ruh manusia yang cacat atau yang tidak tahu arah tujuan penciptaannya untuk segera diam dan menghentikan perilaku yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Arti lainnya, manusia diharapkan bisa introspeksi atau kesalahannya dengan cara diam dan tidak banyak bicara.
3. Pengingat bahwa Hidup di Dunia Hanya Sementara
Lirik berikutnya adalah plos ka kolong atau bisa diartikan sebagai masuk ke dalam kolong. Maknanya agar manusia mengingat kematian atau mengingat bahwa hidup hanya sementara.
Sebenarnya kalimat tersebut berangkat dari kebiasaan orang Sunda ketika ada sanak keluarganya yang meninggal, maka anggota keluarga lain diminta untuk berjalan beberapa kali di bawah keranda atau dikenal dengan nama ngolongan pasaran.
4. Pengingat Bahwa Manusia Tidak Akan Membawa Apapun Ketika Mati Kecuali Amal Perbuatannya
Di penggalan lirik terakhir tertulis bapa satar buleneng. Istilah Satar merupakan personifikasi dari kata keranda yang kerap membawa jenazah ke pemakaman, sedangkan buleneng artinya polos tanpa apapun. Jadi, di dalam keranda itu hanya ada jenazah yang tertutup kain kafan.
Artinya manusia mati hanya membawa dirinya dan amalnya, tanpa ada satu barang pun yang melewat kecuali kain kafan. Lirik ini juga mengingatkan manusiauntuk melepaskan kemelekatan atas hal-hal duniawi.