INFO BANDUNG BARATKomisi VIII DPR RI merupakan 1 dari 13 Komisi yang berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna pada 15 Oktober 2024 akan mengemban tugas di ruang lingkup Agama, Sosial, Kebencanaan, serta Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Tapi jika dilihat pada susunan pengurusnya, dari ketua hingga wakil hanya diisi oleh laki-laki saja.

Daftar perempuan di Komisi VIII DPR RI

Anggota perempuan di Komisi VIII DPR RI (foto: Istimewa)
Anggota perempuan di Komisi VIII DPR RI (foto: Istimewa)

Dari 41 anggota di Komisi VIII, hanya ada 11 perempuan di dalamnya. Ada nama-nama seperti Atalia Praratya yang selama ini aktif menggencarkan ragam isu termasuk soal perempuan. Ada pula mantan Bupati Tuban, Jawa Timur, Haeny Relawati Rini Widyastuti yang juga Ketua Himpunan Wanita Karya Tuban.

Jumlah perempuan di DPR RI

Anggota DPR RI periode 2024-2029 berjumlah 580 orang. Dari total itu, 127 anggotanya merupakan perempuan. Meski tampak sedikit, tapi keterwakilan perempuan di DPR pada periode ini merupakan yang tertinggi di sepanjang sejarah.

Keterwakilan perempuan di parlemen periode ini meningkat menjadi 22,1 persen daripada Pemilu 2019 yang hanya 20,5 persen dan pada Pemilu 2014 di angka 17,3 persen.

Keterwakilan perempuan di isu perempuan sedikit

Meski ada peningkatan kuantitas perempuan di parlemen, tapi pada kenyataannya keterwakilan perempuan yang bertanggung jawab atas isu perempuan dan anak masih minim seperti yang terjadi pada Komisi VIII DPR RI.

Keputusan ini lantas menimbulkan stigma bahwa pemerintah dianggap tidak serius menyelesaikan isu-isu perempuan.

Sangat wajar apabila pertanyaan-pertanyaan bernada skeptis muncul dalam benak setiap perempuan saat melihat susunan pimpinan Komisi VIII DPR RI yang seluruhnya diduduki laki-laki.

Peran laki-laki dalam berbagai masalah yang dialami perempuan

Rasa ragu ini tidak timbul begitu saja, melainkan dipicu oleh fakta bahwa selama ini laki-laki berperan besar terhadap berbagai masalah yang ditanggung perempuan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang diluncurkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sebesar 13.918 laki-laki menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak pada tahun 2024.

Sebagai perbandingan, jumlah pelaku perempuan tercatat sebanyak 1.767 orang. Bentuk kekerasan yang paling banyak diterima korban adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan dalam bentuk psikis (Kemen PPPA, 2024).

Selain itu, kesetaraan gender di Indonesia belum tercipta secara merata. Hal ini dibuktikan dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Indonesia pada tahun 2023 yang menunjukkan angka 0,447 dengan laki-laki yang mendominasi hampir seluruh aspek.

Contohnya dalam lingkup tenaga kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 2023 hanya sebesar 54,52% sedangkan laki-laki sangat jauh di atasnya yaitu 84,26% (Badan Pusat Statistik, 2024). Melihat data kelam tersebut, sulit untuk membayangkan laki-laki memiliki kuasa kuat untuk mengurusi isu perempuan tanpa adanya representasi perempuan di posisi yang setara.

Sejatinya, tidak akan ada yang mengerti diri perempuan sebaik kalangan perempuan itu sendiri. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan lain-lain yang hanya dipahami oleh sesama perempuan sehingga keterlibatan besar perempuan dalam parlemen sangat penting untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan khusus tersebut (Fitriyani, et al., 2022).

Berbagai kebutuhan khusus ini bersifat kompleks karena berdampak sangat nyata terhadap kehidupan perempuan sehingga harus diperhatikan oleh pemerintah yang saat ini implementasinya masih sedikit. Laki-laki tidak akan mampu mewakili suara hati perempuan secara menyeluruh sebab mereka tidak mengalami langsung hal-hal yang dirasakan oleh perempuan.

Maka dari itu, partisipasi luas perempuan dalam Komisi VIII DPR RI sangat diperlukan. Ironisnya, tidak ada sama sekali perempuan dalam posisi kunci pengambilan keputusan pada Komisi VIII DPR RI yang bertugas mengatur persoalan perempuan.

Akan muncul persoalan baru

Nihilnya kehadiran perempuan dalam susunan pimpinan Komisi VIII DPR RI dapat berimbas pada lahirnya kebijakan yang sarat akan ketimpangan gender dan tidak dapat menyelesaikan akar masalah yang diderita oleh para perempuan. Tujuan pembangunan, perdamaian, dan kesetaraan tidak akan berhasil jika pandangan perempuan absen dari tahapan penting pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan yang setara antara laki-laki dan perempuan menjadi aspek yang sangat vital bagi pemberdayaan perempuan (Fitriyani, et al., 2022).

Ketiadaan perempuan dalam struktur puncak Komisi VIII DPR RI yang menanggungjawabi persoalan agama, sosial, perempuan, dan anak seolah-olah menjadi mimpi buruk bagi setiap perempuan di Indonesia.

Keresahan akan menjadi kelompok yang semakin terpinggirkan muncul menghantui pemikiran para perempuan. Namun, ada sedikit harapan yang dilayangkan agar ketakutan itu tidak menjadi nyata. Mengharapkan perasaan dan pandangan perempuan dapat dimengerti dengan sepenuh hati oleh para wakil rakyat, khususnya pimpinan Komisi VIII DPR RI. Mendamba agar mereka selalu mampu menanggapi serta mengatasi masalah atau kebutuhan perempuan secara tepat dan konkret.