38°C
29/09/2025
Edukasi Politics

Sering Disalahartikan sebagai Kerusuhan, Ini Arti Kata Anarkis yang Sebenarnya

  • September 8, 2025
  • 3 min read
Sering Disalahartikan sebagai Kerusuhan, Ini Arti Kata Anarkis yang Sebenarnya

INFO BANDUNG BARAT–Istilah anarkis belakangan sering muncul dalam pemberitaan maupun pernyataan pejabat publik, terutama saat menanggapi aksi unjuk rasa. Kata ini hampir selalu digunakan untuk menggambarkan kericuhan, bentrokan, atau tindakan perusakan. Namun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan berbagai kajian akademis, penggunaan tersebut tidaklah tepat.

KBBI V (2016) membedakan secara jelas tiga istilah yang kerap tertukar. Pertama, anarkis adalah orang atau kelompok yang menganut anarkisme atau pelaku tindakan anarki. Kedua, anarki berarti keadaan tanpa pemerintahan, hukum, atau aturan, yang bisa dimaknai sebagai kekacauan. Ketiga, anarkistis adalah kata sifat yang menggambarkan sifat atau suasana anarki. Artinya, ketika pejabat mengatakan “aksi anarkis,” kalimat itu keliru karena “anarkis” merujuk pada pelaku, bukan tindakan. Bentuk yang benar seharusnya “aksi anarki” atau “aksi anarkistis.”

Makna Filosofis dan Penyempitan Arti

Secara etimologis, istilah anarki berasal dari bahasa Yunani: an berarti tanpa, dan archos berarti penguasa. Dalam filsafat politik, anarkisme merujuk pada gagasan tentang kehidupan sosial tanpa dominasi negara atau otoritas tunggal. Buku klasik The ABC of Anarchism (1964) karya Alexander Berkman dan Anarchism: A Very Short Introduction (2004) karya Colin Ward menekankan bahwa anarkisme tidak identik dengan kekerasan atau kekacauan, melainkan sebuah ideal tentang kebebasan, solidaritas, dan egalitarianisme.

Namun, dalam praktik wacana politik di Indonesia, makna tersebut menyempit drastis. Kata “anarkis” direduksi hanya sebatas sinonim kerusuhan. Pemerintah maupun aparat sering menggunakannya untuk memberi stigma negatif terhadap aksi demonstrasi. Dampaknya, ruang kritik publik tereduksi, dan gerakan sosial yang sah justru dicap sebagai ancaman.

Kajian dalam Jurnal Komunitas (2015) menunjukkan bahwa label bahasa berperan besar dalam membentuk opini publik tentang legitimasi aksi massa. Sementara itu, Jurnal Politik (Universitas Indonesia, 2020) mencatat bahwa penyalahgunaan istilah politik, termasuk “anarkis,” sering dipakai sebagai strategi delegitimasi terhadap oposisi atau kelompok kritis.

Dampak pada Ruang Demokrasi

Kesalahan penggunaan istilah ini tidak sekadar soal linguistik, tetapi juga soal demokrasi dan hukum. Dalam Jurnal Cepalo (2019), ditegaskan bahwa dalam negara hukum demokratis, relasi pemerintah dan rakyat seharusnya bersifat sejajar, bukan vertikal yang menekan. Ketika pemerintah menggunakan istilah yang keliru untuk memberi stigma, praktik tersebut justru melemahkan prinsip negara hukum.

Lebih lanjut, penelitian Sultra Law Review (2023) menemukan bahwa tindakan represif aparat justru sering menjadi pemicu reaksi keras dari demonstran. Respons massa inilah yang kemudian dicap “anarkis,” padahal akar masalahnya terletak pada pendekatan represif pemerintah. Perspektif ini memperlihatkan bahwa penggunaan istilah yang salah dapat menutup kemungkinan analisis lebih jernih terhadap penyebab kerusuhan.

Jika dilihat dari sisi hukum, kekeliruan ini berpotensi berbahaya. Istilah yang seharusnya bernilai deskriptif berubah menjadi alat politis untuk menekan kebebasan berekspresi. Dalam jangka panjang, masyarakat kehilangan pemahaman yang tepat, sementara pemerintah mendapatkan legitimasi untuk mempersempit ruang gerak kritik.***

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *