38°C
29/09/2025
Edukasi

Orang Indonesia Ketergantungan Nasi, Benarkah Kebijakan Orde Baru Menyisihkan Petani Non-Beras?

  • September 29, 2025
  • 2 min read
Orang Indonesia Ketergantungan Nasi, Benarkah Kebijakan Orde Baru Menyisihkan Petani Non-Beras?

INFO BANDUNG BARAT–Swasembada beras di era Orde Baru kerap dipuji sebagai salah satu capaian besar dalam sejarah Indonesia. Tahun 1984, Indonesia berhasil meningkatkan produksi padi hingga nyaris dua kali lipat, dan Presiden Soeharto kala itu bahkan mendapat penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization). Petani padi digadang-gadang sebagai pahlawan pangan, sementara beras resmi ditetapkan sebagai makanan pokok bangsa. Namun, di balik keberhasilan itu, ada warisan lain yang jarang dibicarakan: ketergantungan berlebihan pada nasi. Sejak saat itu, seolah-olah hanya petani padi yang penting, sementara petani jagung, singkong, talas, dan sagu kehilangan tempat di hati negara dan masyarakat.

Sebelum beras merajai meja makan, masyarakat Indonesia sesungguhnya hidup dari beragam sumber pangan. Di Papua dan Maluku, sagu adalah sumber energi utama. Di Jawa Barat, ubi dan singkong menjadi makanan sehari-hari. Di Nusa Tenggara, jagung adalah bahan pokok turun-temurun. Kebijakan “beras-isasi” membuat semua itu berubah. Petani non-beras yang dulu menopang hidup masyarakat daerah terpinggirkan. Banyak lahan dialihkan untuk sawah padi, dan pangan lokal dipandang sebagai “makanan kelas dua”.

Padahal, hasil tani non-beras menyimpan kekayaan nutrisi yang luar biasa. Ubi jalar kaya vitamin A dan serat, singkong tinggi energi dan bisa diolah menjadi berbagai makanan, sementara sagu tumbuh dengan minim input kimia sehingga ramah lingkungan. Dengan mengandalkan beras semata, masyarakat justru kehilangan variasi gizi yang lebih lengkap.

Masalah utama kini bukan hanya produksi, tapi juga budaya makan. Ungkapan “belum makan kalau belum nasi” sudah mengakar kuat. Akibatnya, petani non-beras kesulitan mendapatkan nilai yang setara dengan petani padi. Dukungan kebijakan, pasar, dan inovasi pangan lokal masih terbatas. Namun, beberapa penelitian menunjukkan harapan. Edukasi dan penyuluhan terbukti mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan. Ketika pangan lokal diolah secara kreatif, masyarakat lebih mudah menerima bahwa kenyang tak harus nasi.

Ketahanan pangan seharusnya tidak hanya berarti swasembada beras, melainkan swasembada pangan yang beragam sesuai potensi daerah. Itu berarti semua petani—baik padi, jagung, singkong, ubi, maupun sagu—memiliki peran yang sama pentingnya. Warisan Orde Baru menjadikan beras sebagai pusat pangan Indonesia. Kini, tantangan kita adalah membongkar warisan itu dan membangun paradigma baru: pangan beragam, petani beragam, dan semua sama-sama berharga.***

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *