Lulusan Sarjana dan Diploma Terpaksa “Turun Kasta”, Lapangan Kerja Formal Makin Sempit
INFO BANDUNG BARAT — Banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia kini menghadapi kenyataan pahit: ijazah tinggi tidak lagi menjamin pekerjaan yang layak. Tidak sedikit lulusan diploma dan sarjana yang akhirnya bekerja di sektor informal, seperti sopir, pramukantor, atau asisten rumah tangga. Fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan antara meningkatnya jumlah lulusan pendidikan tinggi dan terbatasnya lapangan kerja formal yang tersedia di pasar tenaga kerja nasional.
Beberapa lulusan muda memilih pekerjaan di luar bidang pendidikannya demi bertahan hidup. Heru Kurniawan, lulusan S1 Teknik Mesin tahun 2023, kini bekerja sebagai sopir rental. Ihlazul Amal, sarjana manajemen 2023, sudah hampir dua tahun menjadi pramukantor. Sementara Reza Fahlevi, lulusan S1 Ilmu Komputer 2024, kini menjadi satpam setelah gagal mendaftar ke TNI karena batas usia. Kisah-kisah seperti ini memperlihatkan bahwa gelar sarjana tidak selalu berbanding lurus dengan kesempatan kerja yang sesuai.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) bagi lulusan diploma dan sarjana terus mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022, TPT lulusan diploma tercatat 4,59 persen dan sarjana 4,80 persen. Angka ini meningkat pada 2023 menjadi 4,79 persen untuk diploma dan 5,15 persen untuk sarjana. Hingga 2024, persentase itu kembali naik menjadi 4,83 persen untuk diploma dan 5,25 persen untuk sarjana. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan pendidikan tidak otomatis diikuti dengan peningkatan kesempatan kerja formal.
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Penelitian dari Jurnal Cahaya Mandalika (2023) menyebutkan bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi belum memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan dunia industri. Kondisi ini diperparah dengan melambatnya pertumbuhan lapangan kerja formal, melemahnya sektor industri padat karya, serta batas usia dan persyaratan ketat yang membuat banyak lulusan baru kesulitan menembus pasar kerja sesuai bidangnya.
Dampak sosial dan ekonomi dari situasi ini cukup besar. Beberapa lulusan bahkan menyembunyikan latar belakang pendidikannya agar bisa diterima bekerja di sektor informal. Akibatnya, investasi biaya dan waktu selama kuliah menjadi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Fenomena ini berpotensi menekan daya beli generasi muda berpendidikan tinggi dan memperlebar kesenjangan antara tingkat pendidikan dan kesejahteraan.
Fenomena pengangguran terdidik bukan semata persoalan individu, melainkan masalah struktural yang memerlukan sinergi antara lembaga pendidikan, dunia industri, dan pemerintah. Sistem pendidikan tinggi perlu menyesuaikan kurikulum dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis, sementara dunia industri diharapkan membuka ruang magang atau kerja praktik yang lebih luas bagi mahasiswa. Dengan langkah-langkah tersebut, pendidikan tinggi diharapkan tidak hanya mencetak gelar, tetapi juga membekali lulusan dengan keterampilan adaptif yang relevan dengan perubahan dunia kerja.***