INFO BANDUNG BARAT—Pernahkah kamu mengajarkan anak untuk mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang membuatnya terganggu atau tidak nyaman? Jika pernah, berarti Anda sudah sedikit banyak mengajarkan konsep consent pada anak.
Apa itu sexual consent?
Consent atau yang juga dipahami sebagai persetujuan, izin, atau kesepakatan antara individu, tidak melulu soal hubungan intim.
Sentuhan, kepemilikan benda, dan cara-cara lain dalam bersikap yang melibatkan orang lain adalah hal yang bersifat konsensual atau membutuhkan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
Dilansir dari plannedparenthood.org, sexual consent adalah persetujuan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan seksual. Sebelum melakukan hubungan seksual dengan seseorang, keduanya harus sepakat dan dalam keadaan sadar, ingin melakukan hubungan seksual tersebut.
Meminta persetujuan dan menyetujui terjadinya hubungan seksual adalah tentang menetapkan batas pribadi diri sendiri dan menghormati batas pribadi orang lain. Tanpa sexual consent, aktivitas seksual apapun (termasuk seks oral, sentuhan di area genital hingga penetrasi) dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan dan pemerkosaan.
Untuk anak-anak, mengajarkan sexual consent memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi perkara seks bisa dibilang hal yang cukup kompleks dan tabu untuk dijelaskan pada anak usia 5-10 tahun.
Orang tua bisa memulai dengan 5 hal sederhana seperti:
1. Mengajarkan Kosakata yang Benar
Banyak orangtua yang masih menganggap kata ‘penis’ dan ‘vagina’ terlalu vulgar dan tidak sopan dikatakan anak, kemudian menggantinya dengan kata-kata yang lebih halus dan tersamar. Padahal, dengan mengajarkan kosakata yang benar tentang organ-organ reproduksi ini dapat memberikan persepsi yang positif tentang seks pada anak. Anak pun tidak merasa malu membicarakan soal tubuh mereka pada orangtua.
Selain itu, dengan kosakata yang benar, orangtua dan orang dewasa lainnya dapat mengetahui dengan jelas apa yang dimaksudkan sang Anak jika anak melaporkan kejadian terkait pelecehan atau pemerkosaan padanya.
2. Mengajarkan tentang Otonomi Tubuh
Anak usia SD harus sudah bisa mengerti tentang otonomi tubuhnya. Mereka berhak menolak jika merasa tak nyaman dengan pelukan, ciuman, dekapan atau pun gelitikan yang dilakukan orang lain padanya. Mereka pun tidak seharusnya dipaksa untuk mencium dan memeluk siapapun, tanpa persetujuannya, sekalipun itu anggota keluarga terdekat.
Orang tua pun harus menghormati, ketika anak mengatakan “berhenti” atau “tidak” saat digelitiki, itu artinya memang harus berhenti. Jika hal kecil ini bisa diterapkan dan dicontohkan pada anak, nantinya ia akan bisa menerapkannya dengan tegas pada orang asing. Sebagai langkah awal, orang tua bisa mengajarkan pada anak untuk bertanya terlebih dahulu kepada orang lain, apakah mereka mau dipeluk atau tidak.
3. Bicarakan tentang Masalah Consent Ini pada Anggota Keluarga yang Lain
Bagian penting dari mengajarkan anak tentang otonomi tubuh dan consent adalah mengajarkannya pula pada keluarga dan kerabat tentang batasannya. Jelaskan pada keluarga dan kerabat untuk tidak memaksa atau melontarkan kata-kata yang negatif bila anak tidak mau dipeluk dan dicium.
Tidak sekadar menolak ciuman dan pelukan, anak bisa diajari untuk menawarkan alternatif lain jika ia tidak mau terjadi interaksi fisik yang intim. Misalnya dengan menawarkan bersalaman atau high five.
4. Menerapkan Batasan
Semakin anak bertambah besar, orang tua bisa menjelaskan bahwa orang-orang tertentu bisa mendapatkan akses yang berbeda tentang otonomi tubuhnya. Misalnya, tidak masalah jika ibu memeluknya, tetapi tidak dengan orang asing. Atau, hanya dokter atau ibu dan ayah, yang boleh memegang bagian tubuh tertentu saat diperiksa, di bawah pengawasan orangtua, tetapi tidak dengan paman atau bibi, dan lain sebagainya.
5. Merespon dengan Cara Bijak
Di usia-usia ini, pemikiran kritis anak mulai berkembang. Tidak menutup kemungkinan mereka punya rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap seksualitas yang seringkali membuat orang tua terkejut. Alih-alih mengalihkan pembicaraan atau menyuruh mereka berhenti bertanya, justru ini menjadi momen yang tepat memberikan edukasi yang tepat pada mereka. Ketahuilah, anak-anak kita mungkin terlihat masih kecil, tetapi sesungguhnya mereka sudah cukup memahami apa yang terjadi.
Berikan penjelasan sesuai dengan usianya, tak perlu terlalu mendetil asalkan mereka mendapatkan jawaban yang diinginkan. Akhiri dengan, “Nanti kalau kamu sudah besar, Mama akan jelaskan lagi supaya kamu lebih mengerti.” Jangan takut pula meminta waktu untuk mencari jawaban yang tepat, misalnya dengan mengatakan, “Wah, Mama terkejut kamu menanyakan ini. Bagaimana kalau besok kita obrolkan tentang hal ini setelah makan malam?”
Pastikan pula memberikan ruang untuk berdiskusi pada anak dan akhiri pembicaraan dengan pernyataan yang suportif, misalnya, “Makasih ya, Kakak sudah mau bertanya tentang hal ini ke Mama.” Buatlah situasi di mana orangtua dapat menjadi sahabat dan tidak membuat anak enggan bertanya yang mengakibatkan ia mencari jawaban atas pertanyaannya ke sumber yang salah.
Menjadi tugas penting bagi orangtua untuk menerjemahkan, menjelaskan, menyanggah dan menyampaikan pesan-pesan sexual consent ini sebagai bekal dasar anak akan keterbukaan soal edukasi seksual. Hal ini penting demi menjaga anak kita dari kekerasan seksual yang mungkin saja dialaminya di dunia luar.