Kasus Bunuh Diri di Bandung: Ketika Anak dan Perempuan Kerap Jadi Korban Kemiskinan Struktural

INFO BANDUNG BARAT–Kasus bunuh diri yang melibatkan seorang ibu dan dua anaknya di Kabupaten Bandung mengungkap potret kelam persoalan sosial-ekonomi di Indonesia. EN (34), seorang ibu rumah tangga, ditemukan meninggal bersama dua anaknya di rumah kontrakan sederhana. Ia meninggalkan surat wasiat yang berisi permintaan maaf dan penjelasan mengenai tekanan ekonomi yang tidak lagi sanggup ia tanggung.
Peristiwa tragis ini bukan kasus tunggal. Ia mencerminkan bagaimana kondisi kemiskinan struktural, beban ganda perempuan, serta lemahnya perlindungan negara berkelindan menjadi lingkaran yang menjerat banyak keluarga miskin di Indonesia.
Beban Ganda yang Menjerat Perempuan
EN tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga penopang ekonomi keluarga. Suaminya diketahui memiliki masalah serius dengan judi, yang memperburuk kondisi finansial mereka. Akibatnya, EN harus berjuang menutup kebutuhan rumah tangga sekaligus membayar utang.
Fenomena ini dikenal sebagai beban ganda perempuan. Menurut Jurnal Beban Ganda Perempuan (2023), perempuan di kelas menengah ke bawah kerap menghadapi tekanan psikologis dan fisik akibat tuntutan ganda, terutama ketika tidak ada dukungan dari pasangan maupun sistem sosial. Beban tersebut tidak jarang berujung pada kelelahan ekstrem, depresi, hingga tindakan bunuh diri.
Anak sebagai Korban Tersembunyi
Tragedi di Bandung juga menyoroti anak-anak sebagai korban tersembunyi. Mereka tidak hanya kehilangan masa depan akibat meninggal bersama ibunya, tetapi juga menghadapi risiko trauma mendalam yang dapat memengaruhi perkembangan emosional generasi selanjutnya.
Sosiologi Keluarga dan Kerentanan Ekonomi (2025) menjelaskan bahwa anak-anak dari keluarga miskin lebih berisiko mengalami penganiayaan, putus sekolah, serta kesehatan mental yang terganggu. Lingkaran kemiskinan ini akhirnya mewariskan ketidakadilan struktural lintas generasi.
Kemiskinan Struktural dan Kebijakan yang Tidak Memadai
Pemerintah sering mengklaim berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Anggaran perlindungan sosial Indonesia hanya sebesar 2,4% dari APBN 2025–2026. Angka ini relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia yang mengalokasikan dana lebih besar untuk jaring pengaman sosial.
Laporan CELIOS (2024) menegaskan bahwa kemiskinan di Indonesia lebih tepat disebut sebagai kemiskinan struktural. Akses yang terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak membuat keluarga miskin sulit keluar dari jerat kesulitan ekonomi, meski berbagai program bantuan telah diluncurkan.
Pinjaman dan Judi Online yang Dibiarkan
Faktor lain yang memperburuk keadaan adalah maraknya pinjaman online (pinjol) dan judi daring. Dalam banyak kasus, pinjol dijadikan jalan pintas untuk menutupi kebutuhan hidup mendesak. Namun, alih-alih membantu, pinjol justru menjerat keluarga miskin dalam utang berbunga tinggi yang sulit dilunasi.
Demikian pula dengan judi daring yang kini semakin mudah diakses. Kegiatan ini bukan hanya menguras ekonomi keluarga, tetapi juga memicu kekerasan domestik, pertengkaran, dan kehancuran rumah tangga.
Hingga kini, pemerintah dinilai kurang tegas dalam memberantas praktik pinjol ilegal dan judi online. Ketidaksigapan ini membuat perempuan kembali menjadi pihak yang paling menderita karena harus menanggung dampak finansial maupun sosialnya, sementara anak-anak ikut kehilangan jaminan masa depan.
Tanggung Jawab Negara
Kasus EN di Bandung seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Negara tidak bisa hanya mengandalkan program bansos sesaat tanpa memperbaiki akar masalah kemiskinan struktural. Perlindungan sosial yang kuat, penciptaan lapangan kerja layak, akses pendidikan yang adil, dan penegakan hukum terhadap pinjol serta judi daring harus segera dilakukan.
Tanpa langkah konkret, perempuan dan anak-anak akan terus menjadi korban diam-diam dari kegagalan negara melindungi kelompok rentan. Mereka bukan sekadar angka dalam statistik kemiskinan, melainkan manusia dengan hak hidup yang seharusnya dijamin oleh negara.***