Ketika Bandit Bisa Jadi Polisi di Zaman Kolonial

INFO BANDUNG BARAT–Pada abad ke-19, setelah VOC bubar dan Hindia Belanda terbentuk, pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem pemerintahan yang dualistik. Di satu sisi ada Binnenlandsch Bestuur (BB), di sisi lain ada Pangreh Praja yang mengatur masyarakat bumiputera. Pola ini juga berlaku dalam kepolisian.
Orang Eropa mendapatkan perlindungan dari aparat resmi Belanda, sementara rakyat pribumi diawasi oleh aparat bawahan Pangreh Praja. Akibatnya, sistem keamanan lebih condong melindungi kepentingan kolonial ketimbang kebutuhan masyarakat lokal.
Polisi Desa dan Kelemahan Sistem
Polisi di era kolonial hadir dalam banyak bentuk: stadspolitie (polisi kota), desapolitie (polisi desa), cultuurpolitie (polisi perkebunan), hingga bestuurspolitie (polisi pamong praja). Namun, khusus polisi desa, efektivitasnya diragukan.
Polisi desa biasanya hanyalah lelaki dewasa yang berjaga secara bergiliran tanpa gaji. Mereka lebih loyal pada pejabat desa atau elite lokal dibanding benar-benar menjalankan tugas sebagai penjamin keamanan publik.
“Menangkap Maling dengan Maling”
Salah satu praktik unik kala itu adalah melibatkan jago atau bahkan bandit lokal sebagai polisi informal. Para jago dikenal punya pengaruh sosial, kekuatan fisik, bahkan spiritual. Pemerintah kolonial maupun Pangreh Praja kerap memanfaatkan mereka untuk menekan kriminalitas.
Namun, cara ini juga menimbulkan dilema. Polisi jago lebih tunduk pada patron lokal, sehingga keamanan masyarakat tetap tidak terjamin sepenuhnya. Sistem ini dikenal sebagai strategi “menangkap maling dengan maling”.
Reorganisasi Pasca Pemberontakan
Pemberontakan petani Banten pada 1888 membuat Belanda sadar bahwa kepolisian mereka lemah. Reorganisasi pun dilakukan: jumlah personel ditambah, gaji diperbaiki, hingga polisi berseragam dan bersenjata diperkenalkan.
Meski demikian, diskriminasi tetap berlangsung. Jabatan tinggi hanya boleh dipegang oleh orang Belanda. Sementara pribumi hanya bisa menduduki posisi menengah ke bawah, seperti mantri polisi atau wedana polisi.
Si Pitung: Bandit atau Pahlawan?
Dari sistem inilah lahir legenda seperti Si Pitung, bandit asal Batavia yang populer pada abad ke-19. Bagi Belanda, ia adalah kriminal berbahaya. Tetapi bagi rakyat, Si Pitung justru dilihat sebagai pahlawan rakyat.
Ia sering digambarkan sebagai sosok “Robin Hood lokal”—merampok orang kaya, terutama kolaborator Belanda, lalu membagi hasilnya untuk rakyat kecil. Kisahnya melegenda hingga masuk ke film dan teater, menjadikannya simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.
Bandit dalam Budaya Populer
Selain Si Pitung, ada pula kisah Si Tjonat, seorang bandit yang kisah hidupnya difiksi-kan dalam novel tahun 1900 dan kemudian diadaptasi ke teater serta film. Dalam budaya populer, bandit sering dipandang bukan hanya sebagai penjahat, tapi juga simbol resistensi terhadap kolonialisme.***