Kisah Pilu Mak Anih, Lansia di Bandung Barat yang Tinggali Rumah Tak Layak Huni

INFO BANDUNG BARAT—Nasib pilu dialami seorang lansia, Anih (74) yang tinggal di rumah tak layak huni. Rumah Anih yang berlokasi di Kampung Cuhcur Rt. 03 Rw. 01 Desa Ciburuy Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat itu mulai dari pondasi, atap, dan bilikny rusak. Rumah panggung itu berdiri di bawah pohon beringin dan dikelilingi kebun milik orang lain.

“Tos lami reksakna, didieu linggih ti jaman Presidèn Soeharto. Gentos Presiden Megawati, carogè ngantunkeun. Teu lami bumi reksak sakedik-sakedik dugi ayeuna janten seueur. (Sudah lama rusaknya, di sini tinggal dari zaman Presiden Soeharto. Ganti Presiden Megawati, suami meninggal. Tidak lama dari situ, rumah mulai rusak sedikit-sedikit. Sampai sekarang jadi banyak (rusaknya)),” kata Anih kepada tim Infobandungbarat.
Anih mengaku sudah lama menempati rumah panggung itu puluhan tahun. Saat ini ia tinggal bersama anak bungsunya yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Diketahui dari semua anak Anih saat ini yang ada tinggal 2 orang, satu anak lainnya tinggal di desa lain masih di kawasan Bandung Barat.
“Kadang aya anu miwarang tani, miwarang ngarit, ah naon waè. Pami tuang mah nya kadang ti ngical hui, sampeu. (Kadang ada yang nyuruh bertani, nyuruh ngambil rumput, ah apa saja. Kalau makan ya kadang dari hasil jualan ubi, singkong),” sambung Anih.
Anih sempat membantu warga setempat jika ada yang menyuruhnya. Namun saat ini sudah langka karena keterbatasan tenaga dan keluhan sakit pada bagian kakinya.
Kondisi rumah Mak Anih

Anih juga mengatakan, rumah yang ditempatinya semakin lapuk. Mulai dari pondasi, lantai, tiang hingga atap daun sudah mengalami kerusakan parah dan kondisinya memprihatinkan. Bahkan, jika hujan turun Anih memilih untuk diam di depan rumah atau teras rumah panggungnya. Karena ia khawatir rumahnya runtuh menimpa dirinya tak jarang air hujan pun masuk ke dalam rumahnya melalui atap-atap yang bocor.
Hal yang paling memprihatinkan, Anih dan anaknya tidak memiliki kamar mandi dan toilet, yang ada hanya kamar mandi terbuka yang dihalangi asbes dan ‘cubluk’ jika ia ingin buang air besar.

“Muhun kieu wè, kaleresan halodo janten cai tèh saat. Itu di pengker aya sumur mung saat. Pèriyogi cai tèh nyuhungkeun heula ka tatanggi. Pami wengi hoyong kahampangan tèh nya itu wè nu dipengker. (Ya begini saja, kebetulan kemarau jadi airnya surut. Itu di belakang ada sumur tapi tidak ada airnya. Kalau butuh air minta dulu ke tetangga. Kalau malam mau buang air ya itu aja ke belakang),” sambung Anih.
Anih berharap di sisa hidupnya menginginkan rumah yang layak dan tidak khawatir lagi jika hujan turun dan angin menerpa rumah panggung miliknya.***