38°C
26/10/2025
Budaya

Memperingati Hari Santri Nasional 2025: Bahasa Sunda Tetap Hidup di Napas Pesantren

  • Oktober 23, 2025
  • 3 min read
Memperingati Hari Santri Nasional 2025: Bahasa Sunda Tetap Hidup di Napas Pesantren

INFO BANDUNG BARAT — Setiap tanggal 22 Oktober, masyarakat Indonesia memperingati Hari Santri. Peringatan ini bukan hanya mengenang kiprah kaum santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, tetapi juga merayakan peran mereka hari ini dalam menjaga jati diri bangsa, termasuk warisan budaya dan bahasa daerah. Di tengah derasnya arus globalisasi, santri masih menjadi penjaga yang setia bagi Bahasa Sunda agar tidak hilang dari masyarakat Sunda itu sendiri.

Bahasa Sunda, yang merupakan bahasa daerah terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa, kini menghadapi penurunan jumlah penutur yang memprihatinkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan penurunan lebih dari dua juta penutur aktif dalam satu dekade terakhir. Pergeseran ini banyak terjadi di wilayah perkotaan, terutama di kalangan muda yang lebih terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia atau bahkan campuran bahasa gaul dan Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi seperti ini, pesantren justru menjadi ruang yang paling konsisten memelihara napas Bahasa Sunda.

Pesantren di Jawa Barat masih aktif menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan harian maupun kegiatan keagamaan. Bahasa Sunda tidak hanya menjadi alat komunikasi antar-santri dan kiai, tetapi juga menjadi sarana dakwah dan pendidikan spiritual. Dalam tradisi ngalogat kitab kuning, misalnya, terjemahan dilakukan menggunakan Bahasa Sunda agar lebih mudah dipahami dan menyentuh hati santri. Tradisi ini sekaligus menjadi bukti bahwa bahasa daerah memiliki daya ungkap yang kuat dalam menjelaskan konsep-konsep keislaman yang mendalam. Begitu pula dengan tradisi nadzoman, pupujian berbahasa Sunda yang dilantunkan dengan irama khas, menjadi bagian dari laku ibadah sekaligus pelestarian budaya.

Budayawan Acep Zamzam Noor menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga sosial yang paling kokoh dalam menjaga Bahasa Sunda tetap hidup. Di lingkungan pesantren, bahasa Sunda tidak hanya digunakan, tetapi juga dihidupi. Dalam tutur para santri, bahasa ini menjadi bagian dari rasa hormat, doa, dan rasa hormat pada yang lebih tua. Dari pesantren pula lahir beragam ekspresi baru yang mempertemukan nilai-nilai iman, basa, dan budaya Sunda. Selama santri masih mengaji, masih ngalogat, dan masih berdoa menggunakan Bahasa Sunda, selama itu pula Bahasa Sunda tidak akan hilang.

Namun, ancaman kepunahan bahasa daerah tidak bisa diabaikan. Kajian dari Hidayat & Kartika (Jurnal Linguistik UPI, 2022) menyebutkan bahwa Bahasa Sunda kini terancam bukan hanya karena modernisasi, tetapi karena kehilangan relevansi sosial. Banyak anak muda yang menganggap Bahasa Sunda tidak lagi memiliki nilai prestise. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya implementasi kebijakan pelestarian bahasa daerah di sekolah. Mata pelajaran Bahasa Sunda sering kali diajarkan secara kaku tanpa keterhubungan dengan kehidupan anak dan konteks budayanya. Padahal, bahasa hanya akan bertahan bila ia menjadi bagian dari keseharian dan kebanggaan kolektif.

Dalam konteks ini, pesantren memiliki potensi luar biasa sebagai ruang pembelajaran bahasa yang hidup. Bahasa Sunda di pesantren bukan diajarkan secara teoritis, melainkan digunakan dalam setiap aktivitas, dari berbincang, baca kitab, mencari ilmu, hingga melakukan ibadah sehari-hari. Inilah bentuk pelestarian yang sejati, di mana bahasa tidak hanya diingat tetapi juga dirasakeun. Seperti diungkap Rachmawati (Jurnal Dialektika, 2021), bahasa daerah di pesantren berfungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga alat pembentuk moralitas, rasa, dan spiritualitas.

Pelestarian Bahasa Sunda memerlukan sinergi antara keluarga, sekolah, pemerintah, dan pesantren. Keluarga menjadi tempat pertama anak mendengar dan meniru bahasa ibu. Sekolah menjadi tempat memperluas wawasan dan keterampilan berbahasa, sedangkan pesantren menjaga makna dan ruhnya agar tidak tercerabut dari akar budaya. Pemerintah Jawa Barat sendiri telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Namun peraturan itu baru akan bermakna bila diikuti dengan tindakan konkret dan dukungan dari masyarakat.***

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *