38°C
25/06/2025
Edukasi Ekonomi Lingkungan Hidup

Paradoks Pangan: Mimpi Swasembada di Negeri Agraris

  • Juni 16, 2025
  • 3 min read
  • 16 Views
Paradoks Pangan: Mimpi Swasembada di Negeri Agraris

INFO BANDUNG BARAT--Indonesia dikenal sebagai negara agraris, memiliki tanah subur, iklim tropis, dan tenaga kerja pertanian yang melimpah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan ironi besar, petani justru menjadi kelompok paling miskin, dan negara masih bergantung pada impor beras jutaan ton tiap tahun. Inilah yang disebut sebagai paradoks pangan.

Petani Tetap Miskin di Tengah Negeri Agraris

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas petani kecil hanya memiliki penghasilan sekitar Rp1–1,5 juta per bulan. Mereka bekerja keras menanam padi, tetapi tidak memiliki kontrol atas harga gabah, distribusi hasil panen, atau akses ke pasar. Nilai Tukar Petani (NTP) yang rendah mencerminkan rendahnya daya beli mereka dibandingkan biaya produksi.

Sejumlah laporan bahkan menyebut bahwa dalam beberapa musim panen, harga gabah di tingkat petani lebih rendah dari biaya produksi, sementara harga beras di pasar terus melonjak.

Hilangnya Sistem Pertanian Leluhur

Dulu, berbagai daerah di Indonesia memiliki sistem pertanian tradisional yang terbukti adaptif, efisien, dan ramah lingkungan. Contohnya adalah Subak di Bali, tumpangsari di Jawa, atau kearifan musim tanam di Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi. Sistem ini lahir dari pengalaman panjang dan keterhubungan petani dengan alam.

Namun kini, sistem-sistem tersebut perlahan hilang, digantikan oleh modernisasi pertanian berbasis pupuk kimia, mekanisasi, dan skema korporatisasi pangan. Sayangnya, pendekatan ini tidak selalu sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekologis lokal, sehingga justru merusak kesuburan tanah dan membuat petani makin tergantung pada input luar.

Lahan Sawah Menyempit, Masa Depan Dipertaruhkan

Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, lahan sawah berkurang lebih dari 1 juta hektare akibat alih fungsi menjadi kawasan industri, properti, dan infrastruktur. Di banyak kasus, alih fungsi ini tidak disertai ganti rugi yang layak, dan memaksa petani kehilangan mata pencaharian utama.

Dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, kemandirian pangan menjadi semakin sulit dicapai, dan beban pada petani yang tersisa semakin berat.

Swasembada Pangan: Cita-Cita di Tengah Kekacauan Sistemik

Sejak era Orde Baru, swasembada pangan telah menjadi jargon kebijakan nasional. Namun hingga kini, cita-cita itu belum terwujud secara utuh. Bahkan, pada tahun 2024 Indonesia mengimpor lebih dari 3,8 juta ton beras, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Fakta ini menunjukkan bahwa swasembada tidak cukup hanya dengan meningkatkan produksi, tetapi juga harus dibarengi dengan keberpihakan terhadap petani, pelindungan lahan produktif, serta perbaikan sistem distribusi dan harga.

Menurut berbagai lembaga riset seperti Sajogyo Institute dan INFID, kegagalan swasembada tidak terletak pada petani, melainkan pada kebijakan yang tak konsisten, struktur distribusi yang timpang, dan ketergantungan pada impor sebagai solusi instan.

Jalan ke Depan: Petani sebagai Subjek, Bukan Objek

Paradoks pangan tidak akan terselesaikan selama petani hanya diposisikan sebagai pelaksana, bukan pengambil keputusan. Untuk mengakhiri ketimpangan ini, diperlukan langkah-langkah seperti:

  1. Melindungi lahan pertanian dari alih fungsi
  2. Menghidupkan kembali sistem pertanian lokal yang terbukti adaptif
  3. Mereformasi rantai distribusi hasil panen agar lebih adil
  4. Menguatkan posisi petani dalam kebijakan pangan nasional

Swasembada pangan bukan sekadar angka produksi, melainkan hasil dari sistem yang adil, berdaulat, dan berpihak pada petani.

About Author

Ayu Diah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *