INFO BANDUNG BARATPatanjala sebagaimana tercatat pada naskah kuno Amanat Galunggung sebagai ala atau metode terkait pengelolaan wilayah (jala) berbasis air (pata).  Posisi mata air pada status kawasan sebagai “gunung” maka tidak boleh ada bangunan (intervensi) manusia.

Seperti tertulis di atas, narasi Patanjala tercantum dalam Naskah Amanat Galunggung atau disebut juga Kropak 632. Naskah ini ditulis pada abad ke-15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi nasihat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25, Penguasa Galunggung, kepada puteranya Ragasuci.

Dalam Kropak 632[1] kalimat patanjala secara eksplisit disebutkan sebagai berikut:

Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana apya, hanteu piburungeun tapa kita, lamuna bitan apwa teya,”

Yang artinya “Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila kita meniru sungai itu,”

Patanjala mengajarkan sistem kewilayahan aliran air

Dalam kosmologi Sunda (Masyarakat Kanekes), disebut Gunung Pangauban. Gunung sebagai kesatuan komunal (kanagaraan-kabalareaan-babarengan), dan Pangauban sebagai batas teritorial atau wilayah berdasarkan sungai atau air.

Patanjala mengajarkan tentang kewilayahan serta kesadaran akan ruang sebagai landasan strategis untuk menentukan kebijakan (aturan atau regulasi).

Konsep sungai dalam narasi Patanjala, mendeskripsikan pengelolaan wilayah sungai secara utuh, terintegrasi dan terpadu, antara hulu, tengah dan hilir (daratan dan lautan) sehingga dapat merepresentasikan pola keteraturan ruang, waktu dan aktivitas di dalamnya. Ruang waktu dan aktivitas tersebut diistilahkan sebagai Tata Wilayah, Tata Wayah dan Tata Lampah.

Konsep Patanjala dan ilmu pengetahuan

Dalam aspek kelembagaannya, Patanjala didasarkan tidak pada kekuasaan, namun pada peran dan tugas yang terbagi kedalam Rama, Resi dan Prabu (Ratu).

Secara filosofis, Patanjala mengajarkan bahwa pengelolaan lingkungan atau wilayah harus berpatokan pada logika air (sungai) yang didalamnya sudah terkandung nilai-nilai pengetahuan yang sudah tersimpan ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu serta pengelolaan lingkungan.

Tidak sebatas mengelola dalam pengertian yang sempit dan terbatas dalam urusan limbah, sampah, sempadan, rumah kumuh di sekitar bantaran sungai). Tetapi lebih luas dalam mengelola ketatawilayahan mulai tatanan masyarakat lokal, negara hingga tatanan dunia dan melahirkan peradaban.

Tata wilayah berdasarkan Kearifan Budaya Sunda. (Foto: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda)
Tata wilayah berdasarkan Kearifan Budaya Sunda Patanjala. (Foto: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda)

Tahapan penerapan Patanjala dalam upaya konservasi alam

Upaya kelompok masyarakat dalam menjalankan metode Patanjala, dilakukan secara bertahap, dengan tahapan yaitu, Tahap Kabataraan, Tahap Kadewaan dan Karatuan.

Tahap pertama atau tahap kabataraan yaitu, meningkatkan kesadaran diri tentang asal-usul dirinya atau wiwitan yang didasarkan pada hukum awal yang disebut tangtu (ketentuan). Tangtu merupakan hukum alam yang merupakan representasi dari hukum Tuhan. Sehingga dianggap sebagai ketentuan, hukum asal tersebut terwujud dalam pembagian wilayah titipan atau larangan, wilayah tutupan atau wilayah pelindung atau wilayah penyangga dan wilayah baladahan atau bukaan yang merupakan wilayah pemanfaatan oleh manusia untuk budidaya. Berdasarkan kondisi wilayah inilah, maka masyarakat dapat memahami dan memaknai hubungan antara masyarakat dengan lingkungan hidupnya.

Kadewaan merupakan tahapan bagaimana masyarakat menggali dan menetapkan kembali sistem pengetahuannya dalam mengelola lingkungan hidup. Tahapan ini membimbing masyarakat untuk menelusuri dan menemukan kembali sistem pengetahuan dalam menyikapi tuntutan kebutuhan lingkungan. Tahapan ini meliputi Tapa di Mandala Salira, yaitu penguatan pengetahuan individu, Tapa di Mandala Balarea atau Nagara, yaitu penguatan pengetahuan kolektif pada tatanan masyarakat, dan Tapa di Mandala Buana, yaitu penguatan antar kolektif dalam mengelola lingkungan dalam cakupan yang lebih luas (antar nagara).

Karatuan tahapan masyarakat melakukan segala sesuatu sesuai amanat kabataraan dengan mengacu pada sistem pengetahuan yang ditemukan dalam fase kadewaan. Ketiga fase tersebut terangkum dalam metode Patanjala yang dijadikan dasar bagi setiap upaya konservasi alam dan penghormatan terhadap air.