Perjuangan Masyarakat Adat Indonesia: Identitas, Hutan Adat, dan Pengakuan Hukum

Masyarakat Adat: Penjaga Keberagaman Budaya Indonesia
Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 2.300 komunitas masyarakat adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap komunitas memiliki bahasa, hukum adat, sistem pengetahuan lokal, dan hubungan spiritual dengan alam yang berbeda-beda. Keberagaman ini menjadi bagian penting dari identitas bangsa sekaligus kekayaan budaya yang harus dijaga dan dilindungi.
Masyarakat adat tidak hanya menjadi pewaris nilai budaya, tetapi juga pelindung ekosistem yang diwariskan secara turun-temurun. Kehidupan mereka yang selaras dengan alam membantu menjaga hutan, sungai, dan tanah leluhur.
Sejarah Perjuangan Pengakuan Masyarakat Adat
Tanggal 17 Maret 1999 menjadi momentum bersejarah bagi masyarakat adat Indonesia dengan digelarnya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama di Jakarta. Kongres ini melahirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi utama dalam memperjuangkan hak dan pengakuan masyarakat adat.

Sejak itu, 17 Maret diperingati sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN), simbol konsolidasi gerakan masyarakat adat untuk menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.
Perebutan Hutan Adat dan Konflik yang Berkepanjangan
Hutan adat merupakan wilayah hidup yang diwariskan turun-temurun dan menjadi bagian penting identitas masyarakat adat. Namun, hutan-hutan ini sering diklaim negara sebagai hutan negara dan dialihkan kepada perusahaan sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur besar.

Menurut data AMAN pada tahun 2025, terdapat 110 konflik aktif antara masyarakat adat dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah. Pada tahun 2024 saja, wilayah adat seluas 2,8 juta hektar dirampas, sementara selama periode 2014–2024 total wilayah yang hilang mencapai 11,07 juta hektar.
Pengakuan Hukum Masyarakat Adat yang Masih Lemah
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Namun, hingga kini belum ada undang-undang khusus yang secara tegas mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat secara menyeluruh.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat telah diusulkan sejak tahun 2009 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, termasuk tahun 2025, tetapi belum juga disahkan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperlemah posisi masyarakat adat di hadapan berbagai kepentingan.
Ketimpangan Pengakuan Wilayah Adat
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan AMAN menunjukkan bahwa baru sekitar 4,85 juta hektar wilayah adat yang diakui secara resmi dari potensi 23,2 juta hektar yang tersedia. Penetapan hutan adat pun baru mencapai 265.250 hektar, sementara sudah ada 350 peraturan daerah yang mengakui masyarakat adat, tetapi implementasinya masih sangat terbatas.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pengakuan hukum masyarakat adat masih jauh dari ideal, dan banyak wilayah adat yang masih rentan direbut oleh kepentingan negara dan swasta.
Seruan Solidaritas untuk Melindungi Keberagaman dan Hutan Adat
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan bahwa masyarakat adat tidak meminta hak istimewa, melainkan hanya ingin mempertahankan tanah leluhur mereka agar tidak diambil paksa dan agar tetap bisa hidup sesuai tradisi.

Perjuangan masyarakat adat adalah bagian dari menjaga keberagaman budaya dan kelestarian lingkungan di Indonesia. Solidaritas nasional dan dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan perlindungan yang nyata bagi masyarakat adat.
Sumber:
Mongabay Indonesia, 2025. Sulitnya Negara Akui dan Lindungi Masyarakat Adat. https://www.mongabay.co.id/2025/03/17/sulitnya-negara-akui-dan-lindungi-masyarakat-adat/
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)