INFO BANDUNG BARATRajamandala merupakan nama sebuah wilayah yang berada di sekitar perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat. Wilayah ini dilintasi oleh jaringan jalan nasional Jakarta-Bandung via Puncak, Bogor.

Sasak Rajamandala menjadi perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur (foto: Istimewa)
Sasak Rajamandala menjadi perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur (foto: Istimewa)

Pada masa saat ini dapat dilewati dengan menggunakan sebuah jembatan yang dibangun pada 1979. Namun, bagaimana proses berlangsungnya penyebrangan sebelum dibangun jembatan tahun 1979. Mengingat rute jalan ini merupakan salah satu bagian dari jalan pos Batavia-Bandoeng. Itu berarti kegiatan penyebrangan sudah ada jauh sebelum 1979?

Sejarah Pembangunan Sasak Rajamandala

Pada 1809-1811, Gubernur Jenderal Daendels melaksanakan program pembangunan jalan raya Pos. Jalan tersebut membentang dari Anyer hingga Panarukan sejauh kurang lebih 1000 km. Pada rute Batavia- Bandoeng Daendels harus menghadapi medan yang sangat ekstrim. Dari Buitenzorg hingga Tjiandjoer pembangunan jalan menghadapi pegunungan dan menuruni lereng yang terjal. Lepas dari Kota Tjiandjoer kondisi jalan cenderung datar hingga menjelang wilayah Rajamandala.

Berdasarkan tulisan tentang sejarah pembangunan jalan raya Pos, wilayah Rajamandala tidak terlalu dibahas secara rinci. Berbeda dengan wilayah Megamendung ataupun Sumedang (Cadas Pangeran). Hal ini sangat dimungkinkan karena tidak adanya peristiwa yang menarik untuk dicatat. Berbeda dengan tragedi banyaknya korban yang meninggal seperti di Megamendung atau konflik sosial seperti di Cadas Pangeran.

Sistem Penyebrangan di Sungai Citarum

Meskipun demikian, koridor jalan raya Pos di Rajamandala-Haurwangi masih sangat menarik untuk dibahas. Terutama mengenai sistem penyebrangan yang digunakan untuk melintasi Sungai Citarum. Kondisi jalan pos di lokasi ini baru dapat dilacak sekitar tahun 1852. Menurut catatan perjalanan Walter Kinloch dalam Rambles In Java And The Straits In 1852 menceritakan bahwa kondisi jalan di Rajamandala terbilang cukup ekstrim.

About fifteen miles from Tjanjore, an exceedingly abrupt descent brings the traveller to a  tributary of the Tjeetaram ; the inclination of the road is here so great, that it is necessary to attach a treck tow, or leathern rope, to the hind part of the carriage, upon which a strong pull is maintained by some twenty or thirty Coolies, in order to prevent too rapid a descent of the carriage down the hill.” 

Setelah melalui jalan yang cukup datar, pengguna jalan dari arah Cianjur harus menuruni lembah agar dapat mencapai tepi Sungai Citarum. Perlu upaya keras untuk sebuah kereta kuda agar dapat menuruni lembah yang sangat curam dengan aman. Bahkan, kereta pun harus ditahan dari belakang oleh sekitar 20-30 kuli. Hal itu dilakukan dengan cara kuli tersebut menarik derek (tali kulit) yang diikatkan di belakang kereta. Lembah yang sangat berbahaya ini diimbangi dengan pemandangan yang sangat indah. Lebih indah lagi ketika telah berada di tepi Sungai Citarum.

Saat tiba di tepi sungai, kereta kuda atau pejalan kaki harus melintasi sungai dengan cara menaiki perahu punt. Perahu jenis ini memiliki ciri dasar perahu datar dengan busur berbentuk bujur sangkar serta digerakan dengan cara mendorong galah yang ujungnya berada di dasar sungai. Setelah menepi, kereta kemudian ditarik oleh empat kerbau agar mampu mendaki lereng lembah yang sangat curam. Bahkan, menurut Kinloch pendakian tersebut merupakan yang paling berbahaya selama perjalanan dari Batavia ke Bandung.

“The approach to this stream is very beautiful, but the view in the descent to the river itself is still more beautiful. The river is crossed by a punt without trouble or delay: and immediately on gaining the opposite side, four powerful buffaloes are yoked to the carriage, which in the course of a few minutes is safely transported to the top of the opposite bank…. We consider this ascent from the Tjeetaram to be the only really dangerous part of the road between Batavia and Bandong”.

Kendala Pembangunan Sasak Rajamandala

Berdasarkan catatan tersebut menunjukan bahwa paling tidak hingga tahun 1852 penyebrangan Sungai Citarum masih dilakukan dengan cara menaiki perahu. Itu berarti sejak awal koridor jalan ini dibangun, Daendels tidak pernah membangun infrastruktur jembatan di lokasi ini.

Berbeda halnya di lokasi lain, masih di wilayah Kabupaten Cianjur tepatnya di Sungai Cicundel (Cikundul) menurut Van der Chijs dalam Djoko Marihandono Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan dikatakan bahwa dalam rangka membantu pembangunan jalan pos dari Cisarua ke Karangsambung (Cirebon) Daendels mengeluarkan ketetapan untuk mengizinkan pasukan Zeni memanfaatkan besi-besi yang ada di gudang negara  dalam pembuatan jembatan Sungai Cicundel. Maka dapat dipastikan dalam pembangunan jalan pos digunakan dua cara penyeberangan sungai, yaitu dengan membangun jembatan atau masih menggunakan sarana perahu.

Bukan tanpa sebab Daendels tidak membangun jembatan di Sungai Citarum, kesulitan pendanaan menjadi faktor terbesar dalam upaya membangun sebuah jembatan. Berbeda dengan Sungai Cicundel yang tidak terlalu lebar, Sungai Citarum memilik badan sungai dan daerah aliran sungai (DAS) yang lebih lebar, sehingga untuk membangun sebuah jembatan dibutuhkan material yang lebih banyak dan dana yang lebih besar. Menurut Djoko Marihandono, dalam proses pembangunan jalan pos Daendels mengalami kesulitan pendanaan untuk menyelesaikan proyek tersebut, sehingga Daendels menerapkan sistem kerja wajib bagi penduduk pribumi. Daendels pun harus menentukan sungai yang seperti apa yang harus dibangun jembatan atau tidak untuk mengurangi beban pendanaan.

Tidak diketahui secara pasti sampai kapan metode penyeberangan menggunakan punt berlangsung di Lembah Sungai Citarum. Dapat diduga penyeberangan dengan punt berlangsung hingga awal tahun 1900-an. Hal ini didasarkan pada periode 1860-1900 pemerintah kolonial lebih memfokuskan dana pembangunan untuk membangun jaringan kereta api. Salah satunya adalah jaringan rel kereta Batavia-Buitenzorg-Bandung pada tahun 1884 (lihat KAI Heritage).

Sasak Rajamandala tahun 1917. (Foto: Istimewa)
Sasak Rajamandala tahun 1917. (Foto: Istimewa)

Pertama Kalinya Sasak Rajamandala Beroperasi

Jalur kereta ini juga melintasi Lembah Sungai Citarum melalui sebuah jembatan megah (Leuwi Jurig), tepatnya berada di sebelah utara penyeberangan punt. Baru kemudian pasca tahun 1900-an infrstruktur jembatan dibangun untuk menggantikan penyeberangan punt, seiring dengan semakin meningkatnya volume kendaraan bermotor yang telah hadir sejak tahun 1893.

Akan tetapi, jika dilihat dari bekas pondasi jembatan ini hanya mampu dilalui oleh satu kendaran secara bergantian dan pengguna jembatan harus antri menunggu giliran melintas. Jembatan inilah yang kemudian disebut sebagai Jambatan Rajamandala generasi pertama.

Jembatan generasi pertama beroperasi hingga sekitar tahun 1980-an. Selama beroperasi jembatan ini menjadi pilihan utama para pengguna jalan yang melakukan perjalanan dari Jakarta, Bogor menuju Bandung ataupun sebaliknya. Tentu saja berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar Rajamandala. Kegiatan ekonomi masyarakat bergeliat dengan menjual hasil panen di pinggir jalan.

Dikutip dari komunitasaleut.com peningkatan ekonomi masyarakat mencapai puncaknya pada periode tahun 1970-1980. Pada periode ini banyak sekali para pengguna jalan yang berhenti untuk sekedar membeli dagangan untuk dijadikan sebagai oleh-oleh ke Jakarta. Namun, geliat ekonomi masyarakat Rajamandala mulai meredup seiring dengan dibangunnya akses jalan baru yang berada sekitar 1,5 kilometer dari jembatan yang lama.

Jalan Tol Pertama dan Terpendek di Indonesia

Pada tahun 1979, pemerintah Orde Baru berhasil menyelesaikan pembangunan jembatan Tol Rajamandala atau nama lainnya adalah jembatan Tol Citarum. Akses jembatan tol ini memangkas jarak tempuh dari sekitar 8 kilometer dengan jalan berkelok-kelok menjadi hanya 5 kilometer dengan jalan lurus.

Dengan dibukanya akses baru ini terjadi perubahan pola lalu lintas. Kendaraan beroda empat atau lebih mulai mengalihkan rute perjalanan dengan memilih melalui jembatan tol karena dianggap lebih dekat dan cepat, walaupun masih ada beberapa kendaraan yang memilih tetap melintasi jembatan lama agar tidak mengeluarkan biaya tol. Ditambah lagi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1979 membolehkan kendaraan roda dua melintasi jalan tol dengan dikenakan tarif tol Rp 50,-. Tentu saja, hal ini sangat mengurangi jumlah kendaraan yang melintas di jembatan lama, akibatnya pendapatan para pedagang mulai menurun.

Sistem Tol Pendek Pertama di Indonesia

Jembatan Rajamandala memiliki pintu tol di kawasan Rajamandala, dengan delapan pintu tol yang terdiri dari enam pintu untuk mobil dan dua pintu untuk sepeda motor.

Pengendara yang tidak membayar tol akan dihentikan oleh petugas di pintu penjagaan, yang berada di sekitar 100 meter dari pintu tol.

Meski panjang jembatan ini hanya sekitar 200 meter, tol tersebut memiliki panjang sekitar 2 kilometer dari pos PJR hingga ke pintu tol, yang menjadikannya tol terpendek di Indonesia.

Namun pada 2003 lalu, statusnya berubah setelah ditetapkan oleh Keppres Nomor 37 Tahun 2003 sebagai jalan umum yang juga mengakhiri masa-masa menjadi jalan tol.