INFO BANDUNG BARAT—Banyak penelitian yang mengungkap bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal. Sebagaimana versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu.
Banyak media yang tidak lagi mencantumkan “PKI” pada peristiwa G30S. Sejak reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI, kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan PKI.
Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan 3 sebab. Di antaranya pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing, menurut Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI. Dari berbagai penelitian, setidaknya ada 5 versi tentang pelaku G30S, yaitu:
1. PKI
Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia.
Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto. Buku tersebut diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa.
Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “PKI” di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.
Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yg terkenal kejam.
Presiden Sukarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.” Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwa itu. Hal itu dikarenakan kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September, sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.
Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI.
Menurut Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yg harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu.
2. Konflik Internal Angkatan Darat
Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi 2 faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.
Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.
Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yg bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.
Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat.
Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk DN Aidit dan Angkatan Darat.
3. Sukarno
Setidaknya ada tiga buku yang menuding Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S. Di mana menurut Asvi, Ke-3 buku tersebut mengarah kepada de-Sukarnoisasi.
Artinya menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.
4. Suharto
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Suharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.
Bahkan, 4 jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Suharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.
Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Suharto.
Dalam buku Kesaksianku tentang G30S (Soebandrio) mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui 4 tahap:
- Menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965.
- Membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Sukarno.
- Menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Sukarno.
- Mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.
5. CIA
Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.
Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.
Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.
Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yg sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad.
Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.
CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan AD sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya.
Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian Amerika memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan
KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.