
INFO BANDUNG BARAT— Runtuhnya bangunan musala empat lantai di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, menewaskan 67 orang dan melukai puluhan lainnya. Tragedi yang mengguncang itu dengan cepat dibingkai oleh sebagian pihak sebagai “takdir Allah” — sebuah ungkapan yang menenangkan bagi korban, tetapi juga berpotensi menutupi akar persoalan yang lebih dalam: kelalaian manusia dan sistem yang gagal.
Beberapa wali santri mengaku tidak akan menuntut secara hukum karena menganggap peristiwa itu sebagai kehendak Tuhan. Sikap ini sejalan dengan pernyataan pengasuh pondok, yang menyebut ambruknya musala sebagai “takdir Allah” dan mengajak semua pihak untuk bersabar. Namun di sisi lain, pengamat keislaman menilai bahwa pernyataan tersebut bisa menjadi bentuk penghindaran tanggung jawab — terutama ketika terdapat indikasi bahwa musala tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dan tidak dibangun sesuai standar konstruksi yang aman.
Menurut Ismail Al-A’lam, peneliti dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, konsep takdir dalam Islam sejatinya tidak bisa dipahami secara pasif. “Tawakal tidak boleh menghapus ikhtiar,” ujarnya. Dalam pandangan teologis Islam klasik, takdir adalah ketetapan Allah, tetapi manusia diperintahkan untuk berusaha. Menyerahkan semua pada takdir tanpa upaya perbaikan adalah bentuk fatalisme — keimanan yang kehilangan tanggung jawab moral.
Ismail juga menyoroti adanya relasi kuasa yang timpang di banyak pesantren. Banyak orang tua santri berasal dari latar ekonomi dan pendidikan rendah, sehingga sulit menuntut pertanggungjawaban kepada pengasuh pondok. Ketimpangan ini membuat narasi “takdir” mudah diterima dan dijadikan pembenaran atas tragedi yang mestinya diusut secara hukum.
Dari sisi hukum, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, menegaskan bahwa kelalaian yang menyebabkan kematian tetap merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP. Ia menyebut penegakan hukum tetap harus berjalan meski keluarga korban memilih diam. “Delik ini bukan delik aduan. Polisi wajib menindak,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Agustinus Pohan dari Universitas Parahyangan. Menurutnya, penindakan hukum bukan semata untuk menghukum, tetapi mencegah tragedi serupa terulang dan menegaskan bahwa keselamatan publik tidak boleh dikorbankan atas nama keimanan. “Kalau polisi tidak menindak, justru itu bentuk kelalaian baru,” katanya.
Sebagian pihak memang berharap proses hukum ditempuh melalui pendekatan restorative justice, seperti penutupan sementara pondok sampai bangunannya benar-benar aman. Namun langkah hukum tetap penting untuk memastikan ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas — bukan sekadar mengandalkan narasi spiritual untuk meredam luka sosial.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa iman dan tanggung jawab seharusnya berjalan beriringan. Menyebut bencana sebagai takdir bukan berarti meniadakan ikhtiar dan akuntabilitas manusia. Sebab dalam setiap musibah, selalu ada ruang bagi refleksi — agar keimanan tidak menjadi pelindung bagi kelalaian, dan agar nyawa manusia tidak kembali hilang di bawah reruntuhan sistem yang abai.***