INFO BANDUNG BARAT—Bahasa selalu bertransformasi seiring waktu ke waktu, mencerminkan identitas dari generasi ke generasi. Meminjam Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa (1984), tiap lapisan masyarakat mampu mencipta suatu bahasa yang Cuma berlaku pada kelompoknya. Bahasa itu disebut Gorys sebagai bahasa slang. Bahasa ini kerap digunakan suatu kelompok, khususnya anak muda.
Slang Abad ke-20
Di Indonesia abad ke-20, kita mengenal bahasa “prokem” (preman) dan bahasa “binan”. Bahasa prokem terkenal dengan infiks ok di setiap katanya, seperti “gokil” yang berasal dari kata “gila” atau “sokin” yang berasal dari kata sini. Sementara bahasa binan digunakan oleh pekerja seks transpuan era 1970-1990, dikenal dengan sufiks -ong di akhir kata, seperti “lekong” yang berarti lagi atau “mehong” yang berarti mahal.
Slang Gen Z dan Alpha
Beralih pada bahasa slang generasi Z dan alpha, penggunaannya cenderung mengadopsi bahasa Inggris, atau kerap disebut bahasa Jaksel (Jakarta Selatan).
Berikut ini beberapa bahasa slang generasi Z dan alpha yang sering ditemui di media sosial, khususnya Tiktok dan X.
- Skibidi: Buruk/jahat
- Sigma: Keren
- Delulu: Delusional
- Ovt: Overthinking (Berpikir berlebihan)
- Pap: Post a picture (Unggah foto)
- Noob: Tidak andal
- Gamon: Gagal move on
- Goat: Greatest of all time
- Tea: Gosip
- Red flag: Berbahaya
- Salty: Marah.
Fenomena Slang Menurut Para Ahli
Bahasa slang, kata Suharyo, pakar sosiolinguistik sekaligus Wakil Dekan Sumber Daya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, mesti dianggap sebagai fenomena dan kekayaan dari bahasa sebuah bangsa.
“Itu adalah warna-warni kehidupan kebahasaan, sehingga kita bisa melihat anak-anak muda berkreasi dalam berbahasa,” kata Suharyo.
Ivan Lanin, penggiat bahasa Indonesia, memberikan pandangannya tentang fenomena transformasi bahasa gaul yang terus terjadi di setiap generasi. Menurut dia, motivasi di balik upaya setiap generasi untuk memodifikasi bahasa dan menciptakan istilah-istilah baru adalah keinginan untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya.
Pada zaman Ali Topan tahun 1970-an, penyebaran bahasa gaul terbatas. Namun, sekarang dengan adanya internet, penyebaran slang menjadi lebih pesat dan luas. Ivan mengungkapkan bahwa dampak internet tidak hanya terlihat pada penyebaran, tetapi juga pada kemunculan bahasa slang itu sendiri.
Komunikasi yang cepat membuat orang cenderung menggunakan kata-kata yang lebih pendek. Keringkasan dan kecepatan media internet juga secara signifikan memengaruhi istilah-istilah yang digunakan.
Ketika ditanya tentang potensi bahasa gaul merusak keaslian bahasa Indonesia, Ivan berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. Mengambil dari pengalamannya, ketika ia menggunakan bahasa gaul prokem yang lazim digunakan di generasinya, ia memahami kapan waktu yang tepat untuk menggunakan bahasa dan istilah-istilah tersebut.
Saat beranjak dewasa dan memasuki dunia kerja, istilah-istilah tersebut tidak lagi digunakan, terlebih di lingkungan profesional. Namun, ketika ia berkumpul dengan teman-teman lama, istilah-istilah itu kembali muncul dalam percakapan. Begitu pun dengan generasi saat ini.
Lagi pula, menurut Gorys Keraf, bahasa slang justru dapat menyumbang kemudahan berbahasa, seperti bus atau taksi yang semula merupakan bahasa slang dari vehiculum omnibus dan taxy cab.***