INFO BANDUNG BARAT—Upacara adat pernikahan atau di daerah Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan “Mapag Pangantèn.”
Mapag pangantèn di dalam kebudayaan Sunda saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Berawal dari di-“sakral”-kan nya gamelan degung, harus adanya umbul-umbul, dan masih banyak lagi. Bila kita cermati pertunjukan mapag pangantèn di zaman sekarang, instrumen-intrumen tersebut sudah berganti dan lebih disederhanakan lagi dengan penggunaan alat musik/waditra kacapi, suling, kendang, perkusi, biola dan juru kawih.
Pergeseran makna sosok Ambu dan Lèngsèr
Di daerah-daerah Jawa Barat, penyajian dan pertunjukan mapag pangantèn ini sangat beragam pula jenis-jenisnya. Secara universal, penyajiannya sama. Namun, isi dalam penyajian tersebut ada beberapa yang berbeda, seperti rumpaka atau lirik pada syair, pola tabuh atau gending, dan lain sebagainya.
Yang menjadi persolan adalah bergesernya makna, arti dan peran sosok “Lèngsèr dan Ambu” dalam pertunjukan mapag pangantèn. Persolan tersebut telah menjadi problematika di masyarakat, khususnya di kalangan budayawan Sunda terlebih budayawan yang berkecimpung dalam seni pertunjukan.
Makna Lèngsèr
Bicara tentang makna dan arti lèngsèr yang sebenarnya, dalam carita pantun Mundinglaya Di Kusumah disebutkan “…. Prabu Siliwangi nitah Ki Lèngsèr sangkan nangan honjè ka Nagara Kuta Pandek di Muara Bèrès. Ti Geger Malèla, putrana Rangga Malèla, Ki Lèngsèr meunang honjè dapalan siki nu ditukeur ku duit dalapan keton.”
Dari sempalan atau carita pantun tersebut, bisa terbaca dengan jelas fungsi dan tugas dari sosok Lèngsèr yang sebenarnya, yaitu seorang “tangan kanan” raja; Prabu Siliwangi. Begitu luhungnya kedudukan Lèngsèr pada zamannya. Budaya, secara hakiki mempunyai sifat dinamis; berkembang seiring dengan zaman, mengakibatkan pergeseran arti dan makna terhadap sosok Lèngsèr yang sebenarnya sudah tersiratkan.
Dalam pertunjukan mapag pangantèn, sosok Ki Lèngsèr diadaptasi sebagai “tangan kanan” dari pengantin. Yang menjadi persoalan, hadirnya sosok Ambu dan pertunjukan tambahan dari prosesi inti mapag panganten.
Problematika muncul diakibatkan ada pertunjukan tambahan yang berupa adegan heureuy atau banyolan antara Lèngsèr dan Ambu. Berkaca pada beberapa pertunjukan mapag pangantèn di beberapa kesempatan, hal tersebut mengurangi atau lebih buruknya menghilangkan nilai kesakralan dalam prosesi pernikahan.
Padahal, prosesi pernikahan itu sangatlah sakral; momentum antara laki-laki dan perempuan berikrar dan saling berjanji satu sama lain untuk hidup bersama; suka maupun duka. Sosok Ambu, merupakan sosok tambahan yang tadinya untuk mendukung ramainya pertunjukan dari acara mapag pangantèn. Pada kenyataannya, seiring dengan berjalannya waktu tupoksi tersebut melenceng dari yang seharusnya dijalankan.
Fenomena yang menggejala di lapangan, sosok Ambu itu digambarkan sebagai seorang nenek-nenek (kadang digambarkan sebagai seorang yang cantik) dan pemeran ambu tersebut ada beberapa yang diperankan oleh seorang laki-laki. Ketika pertunjukan banyol antara Lèngsèr dan Ambu, dalam beberapa kesempatan diperagakan adegan yang tak sepantasnya dilakukan, berkaitan dengan tatakrama dan etika masyarakat Sunda. Ada salah satu adegan, yang dimana Ambu menggoda pengantin pria dengan memeragakan adegan yang diluar nalar; membelai dan berjoget erotis dihadapan pengantin laki-laki.
Terlebih sosok Ambu atau dikenal dengan Sunan Ambu dalam mitologi Sunda dikenal sebagai ikon perempuan yang disakralkan. Sunan Ambu bagi masyarakat Sunda adalah simbol keluhuran perempuan sebagai tempat berlindung. Maka menyimbolkan seorang Ambu dengan sebegitu rendahnya dalam pertunjukan mapag pangantèn dianggap sebagai tindakan nol etika.
Pudarnya pemaknaan dalam upacara mapag pangantèn
Problematika tersebut sudah dianggap lumrah oleh masyarakat Sunda pada umumnya. Terlebih, “permintan pasar” dari sebagian masyarakat yang terbiasa melihat pertunjukan Lèngsèr dan Ambu seperti itu seakan-akan “melanggengkan” pertujukan yang demikian. Sering terdengar, bahwasannya kalau pertunjukan mapag pangantèn dilaksanakan dengan khidmat; tidak dipertunjukkan adegan yang dimana Lèngsèr dan Ambu banyol (secara berlebihan), akan mendapatkan keluhan dan anggapan bahwasannya pertunjukan mapag pangantèn ini tidak meriah.
Kurangnya literasi dan pengetahuan tentang budaya Sunda terkhusus dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertunjukan mapag pangantèn ini seolah-olah membenarkan adegan tersebut, padahal yang semestinya adegan tersebut tak layak dipertunjukkan, berkaitan dengan etika dan tatakrama kepatutan dalam budaya Sunda.
Sumber referensi tulisan:
“Lengser Ambu: Problematika dalam Pertunjukan Upacara Pernikahan Adat Sunda” oleh Alifia Syahrani di Kompasiana.com