Memelihara Air, Cara Orang Sunda Menghormati Sumber Kehidupan

INFO BANDUNG BARAT–Bagi masyarakat Sunda, air bukan hanya sekadar kebutuhan jasmani, melainkan juga sumber kehidupan yang sakral. Dalam setiap denyut kehidupan orang Sunda, air hadir sebagai berkah yang memberi kesuburan, kesejukan, dan keseimbangan. Jejak penghormatan ini masih bisa ditemui hingga hari ini dalam nama tempat, tradisi, maupun situs-situs keramat.
Air sejak lama menjadi bagian penting dari kosmologi Sunda. Hal itu tampak dari penamaan banyak daerah yang menggunakan awalan ci atau cai, seperti Cililin, Cipongkor, Cipatat, dan sebagainya. Nama-nama tersebut bukan sekadar penanda geografis, melainkan cermin dari pandangan hidup leluhur Sunda yang menempatkan air sebagai napas utama kehidupan. Tanpa air, mustahil sebuah kampung atau permukiman bisa berdiri dan bertahan.
Dalam tradisi lama, air kerap disebut tirta amerta, yaitu air kehidupan yang mampu menolak kematian. Konsep ini hidup dan berakar kuat dalam pandangan masyarakat Sunda. Jakob Sumardjo (2015) menjelaskan bahwa air dipandang sebagai sesuatu yang suci, murni, dan sakral. Karena itu, seluruh sistem pertanian orang Sunda, baik di ladang maupun di sawah, sangat bergantung pada keberkahan air. Bagi mereka, air bukan sekadar unsur alam, melainkan rahmat yang menjamin kelangsungan hidup.
Leluhur Sunda tidak hanya menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga melestarikannya melalui nilai-nilai budaya. Salah satu wujud nyata adalah keberadaan kabuyutan atau pulo, yakni kawasan suci yang biasanya berada di pertemuan dua aliran sungai. Tempat ini dijaga ketat, tidak boleh sembarangan dimasuki, dan dipercaya sebagai pusat energi sekaligus pelindung pemukiman. Sistem nilai ini menunjukkan betapa tinggi penghormatan mereka terhadap air.
Bentuk penghormatan lain dapat dilihat dari adanya sumur, mata air, dan sungai keramat yang tersebar di berbagai wilayah Sunda. Tujuh Sumur Keramat di Linggarjati (Kuningan), Kabuyutan Cipaku Darmaraja (Sumedang), hingga Kabuyutan Ciwidey (Bandung) adalah contoh yang hingga kini tetap diziarahi. Pohon-pohon besar sengaja dirindangkan di sekitar sumber air tersebut sebagai simbol kesucian sekaligus upaya menjaga keseimbangan lingkungan.
Air juga memiliki peran penting dalam kehidupan ritual. Dalam tradisi Sunda, masyarakat sering melakukan penyucian diri di sungai atau mata air sebelum menjalani ritual seperti hajat lembur, munggahan, nadran, bersih desa, hingga muludan. Tindakan ini menandakan keyakinan bahwa air adalah jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan leluhur dan Sang Pencipta.
Dari semua praktik itu, jelas terlihat konsep mupusti alam yang diwariskan oleh karuhun Sunda: menjaga dan melestarikan alam sebagai bentuk penghormatan. Karena dianggap suci, banyak mata air dan sungai keramat tetap lestari hingga kini. Air bukan dipandang sebagai ancaman atau bencana, tetapi sebagai rahmat yang menyatukan manusia dengan alam dan sumber kehidupan itu sendiri.***