BBM Swasta Langka, Impor BBM Kini Hanya Lewat Pertamina?

INFO BANDUNG BARAT–Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa impor bahan bakar minyak (BBM) hanya dapat dilakukan melalui satu pintu, yakni Pertamina. Kebijakan ini kembali mengemuka setelah beberapa waktu terakhir terjadi kelangkaan stok BBM di sejumlah SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo. Dengan skema baru ini, semua pasokan yang masuk ke SPBU swasta harus dikonsolidasikan dan disalurkan melalui Pertamina, bukan lagi diimpor secara mandiri oleh masing-masing badan usaha.
Dasar hukum kebijakan ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Bahan Bakar Lain. Aturan tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa impor BBM hanya bisa dilakukan setelah ada rekomendasi dari Menteri ESDM serta izin dari Menteri Perdagangan. Dengan demikian, peran Pertamina ditempatkan sebagai pintu utama sekaligus pengendali pasokan energi nasional.
Kebijakan ini lahir dari kebutuhan mendesak. Sejak Agustus 2025, laporan menyebutkan bahwa SPBU swasta mengalami kesulitan pasokan sehingga terjadi antrean panjang di beberapa lokasi. Pemerintah menilai kondisi ini dapat menimbulkan gejolak sosial jika tidak segera ditangani. Oleh karena itu, badan usaha swasta diminta menyerahkan data kebutuhan volume dan spesifikasi BBM yang diperlukan. Data ini kemudian digabungkan dengan kebutuhan Pertamina untuk memastikan total impor bisa direncanakan dengan lebih efisien. Berdasarkan laporan sementara, kebutuhan impor tambahan diperkirakan mencapai 1,4 juta kiloliter, di luar pasokan reguler yang selama ini sudah disediakan Pertamina.
Dalam mekanisme baru, SPBU swasta tidak lagi bebas mencari pemasok internasional sesuai kebutuhan mereka. Seluruh distribusi BBM ke SPBU swasta harus melewati Pertamina. Jika stok dalam negeri dari kilang Pertamina mencukupi, maka impor tambahan tidak diperlukan. Namun, jika stok tidak cukup, maka Pertamina sendiri yang akan melakukan impor sesuai data konsolidasi. Sistem ini diharapkan dapat menutup celah kelangkaan serta memberikan jaminan kepastian pasokan, baik untuk SPBU milik Pertamina maupun swasta.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari pro dan kontra. Dari sisi positif, pemerintah melihat sistem satu pintu sebagai cara untuk memastikan distribusi energi tetap stabil dan adil. Konsolidasi data kebutuhan membuat perencanaan impor lebih terkoordinasi dan meminimalkan risiko kelebihan stok yang merugikan negara. Bagi masyarakat, ketersediaan BBM di SPBU swasta diharapkan bisa kembali normal sehingga aktivitas ekonomi tidak terganggu.
Di sisi lain, pelaku usaha swasta menyoroti kelemahan kebijakan ini. SPBU asing seperti Shell dan BP biasanya memiliki jaringan pemasok internasional yang bisa menawarkan harga lebih kompetitif. Dengan kewajiban membeli melalui Pertamina, fleksibilitas tersebut hilang. Margin keuntungan yang selama ini relatif tipis dikhawatirkan semakin menurun, bahkan berpotensi membuat operasional merugi. Jika hal ini berlanjut, tidak menutup kemungkinan iklim investasi di sektor hilir migas menjadi kurang menarik. Sejumlah pengamat energi juga mengingatkan bahwa kebijakan impor satu pintu dapat mengurangi kepercayaan investor asing terhadap komitmen Indonesia dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Selain itu, ada faktor ekonomi dan teknis lain yang turut memengaruhi kebijakan ini. Pemerintah harus menyeimbangkan neraca perdagangan dengan mitra dagang internasional, termasuk Amerika Serikat, melalui mekanisme impor tambahan. Di sisi teknis, setiap SPBU memiliki standar aditif BBM yang berbeda. Dengan masuknya sistem satu pintu, muncul kekhawatiran bahwa standar aditif akan diseragamkan sesuai milik Pertamina. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada konsistensi kualitas BBM yang dijual SPBU swasta kepada konsumen.
Perspektif akademik juga memberikan gambaran menarik. Penelitian dalam Jurnal Jejaring Administrasi Publik (2021) mencatat bahwa Pertamina masih menghadapi tantangan serius dalam mengurangi ketergantungan impor BBM. Kapasitas kilang dalam negeri yang belum optimal membuat kebutuhan impor tetap tinggi. Selain itu, regulasi yang kaku, kepemimpinan yang berorientasi jangka pendek, serta budaya organisasi yang kurang adaptif membuat inovasi Pertamina dalam mengelola rantai pasok kurang berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan impor satu pintu bukanlah solusi akhir, melainkan bagian dari masalah struktural yang lebih besar dalam sektor energi nasional.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, kebijakan impor BBM satu pintu lewat Pertamina menghadirkan dilema. Di satu sisi, kebijakan ini menjawab kebutuhan mendesak menjaga stabilitas energi nasional. Namun di sisi lain, ada risiko terhadap iklim usaha, kualitas produk, dan kepercayaan investor. Pertanyaan besarnya adalah apakah kebijakan ini hanya solusi jangka pendek untuk mengatasi kelangkaan, ataukah bisa menjadi langkah awal menuju reformasi energi yang lebih komprehensif di Indonesia.***