INFO BANDUNG BARAT—Janji pemerintahan Presiden Joko Widodo mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai mitigasi krisis iklim sepertinya bakal menjadi angan-angan saja. Kebijakan pemerintah jauh dari target itu karena segera terbangun 12 unit pembangkit listrik tenaga uap batu bara captive hingga enam tahun ke depan.

PLTU baru bara 30 gigawatt yang dibuat perusahaan untuk memasok kebutuhan listriknya sendiri itu tersebar di banyak smelter. Di kompleks smelter nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park, misalnya, telah beroperasi dua pembangkit yang mengkonsumsi 9 juta ton batu bara setiap tahun atau setara dengan muatan 2.000 kapal tongkang.

Penggunaan pembangkit batu bara di kompleks smelter nikel tersebut bertolak belakang dengan slogan pemerintahan soal ekosistem smelter yang ramah lingkungan. Di banyak forum, para menteri mempromosikan nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik. Tapi pengerukannya memicu deforestasi dan pengolahannya menghasilkan emisi besar. Deforestasi dan emisi adalah kombinasi maut penyuplai gas rumah kaca penyebab krisis iklim.

Pemerintah tidak serius menangani mitigasi iklim

<yoastmark class=

Data Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara 2021-2030 juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mitigasi iklim. Dalam RUPTL PLN itu terlihat bahwa pemerintah merencanakan pembangunan pembangkit berkapasitas 40.967 megawatt dengan 29 persen berbahan baku batu bara.

Program itu membuktikan bahwa kebijakan Jokowi hanya manis di bibir, tapi lain di hati. Pasalnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of the Parties) Ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada Desember 2023, Jokowi blakblakan meminta negara maju berinvestasi mengurangi emisi di Indonesia sebanyak US$ 1 triliun.

Pemerintahan yang plin-plan

Analisis Institute for Essential Services Reform mencatat masih ada 86 pembangkit batu bara yang beroperasi di Indonesia. Sebanyak 12 pembangkit layak dipensiunkan untuk mengurangi emisi dan polusi serta meningkatkan kualitas udara. Namun, alih-alih mematikan, pemerintah malah mengizinkan 12 PLTU captive baru.

Pembangkit batu bara memang lebih murah dalam menghasilkan listrik ketimbang energi baru terbarukan. Pembangkit batu bara bisa dibangun di mana saja, termasuk di mulut tambang, sehingga menekan harga listrik. Namun harga listrik sesungguhnya bergantung pada pasokan. Makin banyak pasokan listrik dari sumber yang bersih, harga setrumnya akan makin murah.

Ilustrasi batu bara yang terus dikeruk atas izin pembangunan PLTU oleh pemerintah (foto: Greenpeace)
Ilustrasi batu bara yang terus dikeruk atas izin pembangunan PLTU oleh pemerintah (foto: Greenpeace)

Di balik harga murah batu baru itu tersimpan bom waktu biaya pemulihan lingkungan yang besar. Belum lagi dampak biaya eksternalitas terhadap kesehatan masyarakat, dampak bencana akibat kerusakan lingkungan, serta biaya untuk dampak lain yang berkepanjangan akibat krisis iklim. Maka, harga murah sekarang tak sebanding dengan biaya mahal yang ditanggung generasi mendatang.

Mitigasi krisis iklim perlu tekad keras dan spartan dari pemerintah. Tanpa itu, mitigasi iklim yang dijanjikan pemerintah dalam forum-forum dunia hanya mimpi, bahkan pepesan kosong.