INFO BANDUNG BARATTidak hanya menyimpan kekayaan alam dengan pemandangan indahnya, ternyata Lembang menyimpan sejarah kejaayaan kayu pada masanya.

Berdasarkan Peta Topografi Lembar Leuweungdatar yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau (Batavia) tahun 1904-1905, terdapat sebuah daerah yang bernama Areng. Nama Areng ini lah yang menjadi nama kampung di beberapa daerah di Kecamatan Lembang.

Kampung Areng dibagi menjadi tiga, yaitu Kampung Areng Girang (paling utara), Kampung Areng Tengah, dan Kampung Areng Hilir (paling selatan). Di bagian utara, Kampung Areng berbatasan dengan Peneropongan bintang Bosscha. Kampung Areng ini terletak di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Selain itu, Kampung Areng yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, berada di ketinggiannya 1.240 m dpl. Lokasinya tiga kilo meter sebelah timur dari airterjun Maribaya, atau delapan kilo meter arah timur dari Kampung Areng Cijengkol.

Ki Areng sebagai Cikal Bakal Kampung Areng

Kata areng yang menjadi dua nama kampung di Patahan Lembang itu bersumber dari nama pohon, yaitu pohon Ki areng. Di Kampung Areng, Cijengkol, tanahnya berupa material letusan (ignimbrit) dari letusan Gunung Sunda.  Tanah di Kampung Areng, Cibodas, berupa material letusan gunungapi tua. Sedikit ke dalam tanahnya, terdapat tanah yang berupa ignimbrite (teras atau padas), jenis batuan ini termasuk kurang subur. Namun justru sangat baik bagi tumbuh kembangnya pohon ini.

Menurut K Heyne (1927), nama ilmiah Ki areng adalah Diospyros pseudo-ebenum K. & V. Namun, dalam buku Kayu Jawa Madura, seperti yang disampaikan oleh Ganjar, nama ilmiah untuk Ki arengitu Diospyros sundaica. Selain Ki areng, nama lainnya untuk pohon ini di Jawa Barat adalah Ki lutung.

Secara lengkap, taksonomi Ki areng (Diospyros pseudoebenum K. & V.) itu diklasifikasikan: famili: Ebenaceae, marga: Diospyros, spesies/jenis: pseudoebenum, bahasa daerah: Ki areng. Dalam sumber lain, taksonominya dituliskan: famili: Ebenaceae, marga: Diospyros, spesies/jenis: Diospyros sundaica, bahasa daerah: Ki areng, Ki lutung.

K Heyne (1927) menguraikan, tinggi pohon sampai 30 meter, gemangnya (diameternya) hingga 60 cm. Dalam sumber lain dituliskan, batangnya lurus, tingginya sampai 40 meter, diameter batang 120 cm, serta berbanir lebar. Kayu gubalnya berwarna coklat kuningan atau kemerahan, dengan teras kayu yang hitam legam, dengan tesktur agak halus, agak licin, dan mengkilap.

Rupanya karena galeuh kai, hati kayu, atau teras kayunya yang keras dan berwarna hitam legam inilah yang menjadi alasan mengapa pohon ini dinamai Ki areng dan Ki lutung, karena arang dan lutung (Trachypithecus auratus) sama-sama hitam.

Teras kayunya yang hitam legam ini pada masa kejayaan kayu ini di Tatar Sunda, sangat digemari untuk dibuat gagang perkakas atau senjata. Kayunya sangat kuat bila dijadikan tiang rumah dan jembatan. Kayu jenis eboni ini kuat, indah, dan mewah, sehingga banyak dibuat mebel, lembaran-lembaran kayu, patung, ukiran, hiasan ruangan, dan dijadikan alat musik tiup.

Keadaan Kampung Areng Sekarang

Kampung areng yang kini ditumbuhi tanaman sayur (foto: Tangkapan Layar Youtube/JasaRaya Channel)
Kampung areng yang kini ditumbuhi tanaman sayur (foto: Tangkapan Layar Youtube/JasaRaya Channel)

Kayu Ki areng merupakan kayu berkualitas bagus dengan nilai ekonomi yang tinggi. Tapi, pertumbuhannya sangat lambat, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk layak tebang.

Oleh karena itu menanam pohon kayu ini bukan sekedar berharap akan memanen rupiah yang berlimpah, tapi harus diniatkan sebagai upaya menghijaukan bumi untuk meredam panas matahari, kesejukan, kebersihan, dan menghasilkan oksigen. Juga untuk pendidikan dan meneruskan budaya masyarakat dengan memanfaatan kayu ini untuk menunjang kehidupan.

Menanam kembali Ki areng merupakan penghormatan kepada para karuhun, para orangtua dahulu yang sudah menamai daerahnya dengan nama kayu jenis ini, karena di sana ada Ki areng sebagai penanda kawasan.***

Sumber: Artikel “Nama Geografi Areng di Bandung Utara: Di Sana Ada Ki Areng Sebagai Penanda Kawasan” oleh T Bachtiar.