Mitologi Nyi Roro Kidul: Amanat Keseimbangan Alam dari Pantai Selatan
INFO BANDUNG BARAT–Mitologi Nyi Roro Kidul sudah lama hidup dalam tradisi lisan masyarakat Nusantara. Sosok penguasa Laut Selatan ini bukan hanya hadir dalam bentuk cerita mistis, tetapi juga membawa pesan mendalam tentang bagaimana manusia seharusnya menempatkan diri di tengah alam dan kekuatan gaib.
Dalam sejumlah kisah, Nyi Roro Kidul disebut sebagai putri kerajaan Pajajaran yang mendapat kutukan hingga akhirnya mengembara dan menjadi penguasa laut. Ada pula yang mengaitkannya dengan kerajaan gaib yang menjaga tatanan jagat. Apa pun versinya, tokoh ini selalu dipandang sebagai simbol kesakralan laut serta kekuatan yang wajib dihormati.
Kisah Nyi Roro Kidul menegaskan bahwa hidup manusia harus seimbang, baik dengan alam yang kasatmata maupun dengan dunia gaib yang tidak terlihat. Laut dalam mitologi ini digambarkan bukan hanya sebagai sumber rezeki, tetapi juga sebagai ruang sakral yang bisa memberi kehidupan sekaligus mendatangkan malapetaka. Manusia dituntut menjaga keseimbangan agar tidak merusak harmoni yang sudah ada.
Praktik-praktik pemujaan, sesajen, dan bentuk penghormatan kepada Nyi Roro Kidul juga memperlihatkan bahwa relasi manusia dengan alam tidak berhenti pada dimensi fisik. Ada hubungan batin yang dibangun melalui rasa hormat, pengorbanan, dan kesadaran akan adanya kekuatan yang lebih besar. Di sinilah mitos berperan sebagai pengingat agar manusia tidak sombong di hadapan alam.
Amanat moral yang terkandung dalam kisah ini jelas: manusia harus tahu batas. Jika keserakahan merusak keseimbangan, alam akan memberikan balasan berupa bencana. Oleh karena itu, mitologi Nyi Roro Kidul berfungsi sebagai refleksi, bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari jagat raya dan tidak bisa berdiri di atas hukum alam.
Melalui mitos ini kita diajak memahami bahwa keseimbangan adalah pondasi hidup. Antara yang terlihat dan tidak terlihat, antara manusia dan alam, semuanya saling terhubung. Mitologi Nyi Roro Kidul pada akhirnya bukan hanya dongeng mistis, tetapi sebuah cermin falsafah hidup yang diwariskan turun-temurun.***
