
INFO BANDUNG BARAT–Rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Langkah ini diklaim sebagai upaya merapikan dan memperbarui narasi sejarah agar lebih komprehensif. Namun, kritik bermunculan dari berbagai kalangan, terutama karena kekhawatiran bahwa proses ini justru akan memperkuat narasi tunggal dan menghilangkan fakta-fakta penting yang selama ini disisihkan.
Sejarah Ditulis oleh Penguasa?
Salah satu kritik utama terhadap penulisan ulang sejarah nasional adalah potensi dominasi negara dalam menentukan versi sejarah yang “resmi.” Sejarah, yang seharusnya dibangun berdasarkan beragam perspektif dan fakta, bisa berubah menjadi alat pembenaran politik jika dikuasai oleh narasi penguasa.
Dalam sejarah Indonesia, kita sudah melihat bagaimana peristiwa seperti Tragedi 1965, operasi militer di Timor Timur, konflik Papua, hingga peran kelompok perempuan dan minoritas kerap tidak mendapatkan tempat dalam buku pelajaran. Penulisan ulang dikhawatirkan akan memperkuat kecenderungan ini.
Risiko dalam Pendidikan Sejarah di Sekolah
Pelajaran sejarah di sekolah adalah ruang penting dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap bangsanya. Namun, jika sumber utama pengajaran sejarah berasal dari narasi negara yang dibentuk secara politis, maka siswa hanya akan mengenal satu versi yang aman, rapi, dan minim kritik.
Banyak sejarawan mengungkap bahwa selama ini pelajaran sejarah cenderung menutupi peristiwa-peristiwa berdarah dan kontroversial. Akibatnya, siswa tumbuh tanpa mengetahui realitas kekerasan negara, pelanggaran hak asasi manusia, dan berbagai bentuk ketidakadilan yang pernah terjadi di Indonesia.
Pentingnya Transparansi dan Keterlibatan Publik
Proses penulisan ulang sejarah seharusnya melibatkan berbagai elemen masyarakat, bukan hanya sejarawan negara, tetapi juga korban pelanggaran HAM, akademisi independen, penulis sejarah alternatif, serta komunitas adat dan lokal.
Tanpa keterlibatan publik dan transparansi, sejarah nasional berisiko kehilangan akarnya. Ia bisa menjadi cerita milik segelintir orang, bukan gambaran utuh tentang perjalanan kolektif bangsa.