INFO BANDUNG BARAT—Ketika melarang anak-anak bermain di waktu petang, masyarakat Sunda sering kali menggunakan istilah sandekala. Apa itu sandekala?
Sandekala adalah istilah yang merujuk pada makhkuk gaib dalam mitos yang banyak dipercayai oleh masyarakat Sunda. Makhluk ini diyakini kerap muncul pada waktu senja.
Sandekala dipercaya selalu mengganggu anak-anak yang masih bermain di luar rumah ketika waktu maghrib tiba. Mitos adanya sandekala saat senja tiba sering digunakan para orang tua untuk melarang anaknya bermain pada momen pergantian waktu (siang ke malam).
Sandekala dalam Masyarakat Sunda
Sandekala merupakan cerita atau legenda yang telah menjadi warisan turun-temurun bagi masyarakat Sunda. Dalam legenda masyarakat Sunda, kisah-kisah Sandekala menceritakan tentang mahluk yang gemar mengganggu dan menculik anak-anak yang bermain ketika senja tiba.
Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, sandekala adalah mitos yang dipercaya oleh masyarakat Sunda sebagai suatu golongan jin atau makhluk halus yang muncul pada waktu senja. Itu mengapa sosok ini sering disebut sebagai hantu senja.
Istilah sandekala sendiri diambil dari dua kata dalam bahasa Sunda, yakni sande yang artinya bukan dan kala yang artinya waktu. Sebagian masyarakat Sunda meyakini bahwa sosok sandekala berwujud wanita seperti wewe gombel yang sering menculik anak-anak.
Akan tetapi, menurut para budayawan Sunda, sandekala merupakan sosok makhluk bersayap dan bertubuh besar bertanduk dengan mata merah menyala yang kerap menculik anak kecil ketika menjelang waktu maghrib.
Cerita mitos mengenai sandekala hingga saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Sunda. Budaya dan kepercayaan masyarakat mengenai makhluk ini bahkan sudah diangkat menjadi buku dan film.
Hubungan Sandekala dengan Pamali
Kepercayaan sandekala berkembang dan berkaitan dengan pamali dalam masyarakat Sunda. Bentuk pamali yang dikaitkan dengan sandekala adalah dilarang keluar atau bermain di waktu senja.
Masyarakat Sunda tentunya kerap mendengar ungkapan “Ulah kaluar pas magrib, pamali bisi diculik sandekala”. Artinya, jika keluar pada waktu senja, akan diculik oleh makhluk sandekala.
Berdasarkan ungkapan di atas, sandekala juga dipercaya sebagai bentuk dari adanya mamala (konsekuensi buruk) akibat dilanggarnya pamali atau larangan yang berlaku.
Makna dari Larangan Keluar Pada Waktu Senja atau Magrib
Menurut Pepep DW dalam buku berjudul Manusia dan Gunung, larangan tersebut diberlakukan karena masyarakat Sunda percaya bahwa dalam setiap peralihan waktu, ada ketidakseimbangan yang terjadi di alam.
Ketidakseimbangan tersebut bisa memberikan dampak buruk bagi manusia dan alam sekitarnya. Bentuk kepercayaan ini kemudian dituangkan menjadi salah satu mitos yang disebut sebagai sandekala.
Dengan adanya mitos tersebut, anak-anak dilarang bermain di luar rumah saat sandekala atau saat pergantian waktu telah tiba guna menghindari dampak buruk dari adanya ketidakseimbangan alam.
Adapun ketidakseimbangan alam yang dimaksud tertulis dalam buku yang berjudul, “The Science Of Shalat,” tulisan Prof. DR. Ir. H. Osly Rachman, MS yang diterbitkan Qultummedia menjelaskan tentang hadist Nabi Muhammad SAW tentang menjelang Magrib secara ilmiah.
Di dalam buku itu disebutkan, alam akan berubah menjadi spektrum cahaya berwarna merah. Cahaya merupakan gelombang elektromagnetis (EM) yang memiliki spectrum warna yang berbeda satu sama lain. Setiap warna dalam spektrum mempunyai energi, frekuensi dan panjang gelombang yang berbeda.
Bila dikaitkan dengan gelombang elektromagnetis maka ada perubahan spektrum warna alam. Boleh jadi selaras dengan frekuensi jin dan iblis yakni muncul spektrum warna merah. Pada waktu ini, jin dan iblis amat bertenaga karena memiliki resonansi bersamaan dengan warna alam itu.
Dalam buku itu juga dijelaskan pada waktu Magrib banyak interfensi atau tumpang tindihnya dua atau lebih gelombang berfrekuensi sama sehingga penglihatan terkadang kurang tajam oleh adanya fatamorgana.
Pada saat gelombang berfrekuensi sama sehingga penglihatan terkadang kurang tajam oleh adanya fatamorgana maka sangat dirasakan mata tidak nyaman ketika memandang alam waktu Magrib terutama bagi anak-anak. Sehingga memungkinkan faktor inilah yang membuat anak kesulitan menemukan jalan pulang ketika Magrib.
Kaitan Waktu Magrib atau Senja dengan Rotasi Bumi
Selain itu, berdasarkan hitung-hitungannya gelombang berfrekuensi sama akan berotasi dengn kecepatan 1600 km/jam. Sedangkan penelitian secara ilmiah menunjukan perputaran bumi terus melambat 2 detik tiap 100 ribu tahun.
Efek yang terjadi terhadap percepatan itu seperti kekacauan pada navigasi pesawat, begitu juga dengan satelit bumi berputar menyesuaikan dengan waktu di darat. Artinya, jika gelombang berfrekuensi sama maka akan terjadi kecelakaan pesawat terbang.
Ketika Magrib juga terjadi pertambahan durasi waktu di bumi. Pertambahan durasi waktu akan merperlambat rotasi bumi sebab terjadi perpanjangan hari. Bila satu hari itu biasanya 24 jam akan tetapi bisa 24 jam lebih.
Apa bila rotasi melambat maka laut akan mengalir ke kedua kutub yang menyebabkan banjir di Benua Eropa dan surut pada wilayah khatulistiwa yakni termasuk di Indonesia. Bukan cuma laut, udara juga bakal mengalir ke arah khatulistiwa dan menyebabkan naiknya tekanan udara.
Disamping itu akan terjadi gangguan kehidupan flora dan fauna. Pada waktu Magrib terkadang terlihat rombongan burung berimigrasi ke daerah yang dinilainya aman. Begitu juga dengan hewan dan tumbuhan lainnya.
Fenomena Magrib membuat aktivitas geologi bertambah ekstrim. Bisa terjadi gempa bumi, peristiwa gunung meletus di lokasinya. Terjadinya gangguan kehidupan flora dan fauna ada dalam Al-Qur’an sebagai pedoman setiap umat Islam.
Hal yang pasti perputaran inti bumi menghasilkan medan magnet yang melindungi bumi dari radiasi matahari. Kini masalahnya rotasi bumi terus melambat, medan magnet. Hal ini akan melemah dan radiasi matahari bebas masuk dan membuat kanker kulit pada manusia.***