INFO BANDUNG BARATSanghyang Poèk merupakan salah satu gua purba dengan batuan kapur yang berada di kawasan Bandung Barat. Tepatnya di kawasan sekitar Waduk Saguling, Desa Rajamandala Kulon Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.

Gua yang disebut dengan nama Poèk yang berasal dari bahasa Sunda memiliki arti “gelap” mungkin juga karena dalam gua ini teramat gelap, jadi dinamakanlah wisata alam ini sebagai Sanghyang Poèk. Gua ini termasuk dalam jenis gua karst, yaitu kawasan batu gamping yang telah melalui proses karstifikasi.

Di sekitarnya terdapat banyak peninggalan purbakala lainnya seperti Sanghyang Tikoro, Sanghyang Kenit, Sanghyang Heuleut, dan lain sebagainya.

Jika Sanghyang Tikoro berada di sekitar pembangkit Saguling sebagai pusat Citarum Purba. Jari-jarinya sekitar 500 meter ke hulu adalah Sanghyang Poèk dan ke hilir 500 meter adalah Sanghyang Kenit.

Pada zaman kolonial, kawasan ini sudah dijadikan daerah tujuan wisata orang-orang Belanda, seperti yang tertulis dalam buku panduan wisata tahun 1927, Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, door SA Retsna en WH Hoodland. Pada awalnya gua kapur dua lorong sepanjang 25 meter ini merupakan sungai purba bawah tanah saat Citarum belum dibendung Saguling.

Menurut T Bachtiar penulis yang juga anggota Masyarakat Geografi Indonesia dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, batu kapur di Sanghyang Poèk terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) yang larut dalam air dan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Air Sungai mengasah dan melarutkan batu kapur dari sisi sungai, menghasilkan bentukan yang oleh penggemar arung jeram disebut undercut. Kemudian jadi sungai bawah tanah yang berpadu dengan pelarutan dari atas, maka lengkaplah proses pembentukan gua menjadi sungai bawah tanah karena air mengalir ke dalam gua.

Bebatuan di Sanghyang Poèk (foto: Istimewa)
Bebatuan di Sanghyang Poèk (foto: Istimewa)

Sanghyang Poèk dalam Legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi

Dari segi cerita rakyat, kisah Sanghyang Poèk tidak kalah uniknya. Mitos yang terdapat pada Sanghyang Poèk berhubungan dengan legenda Sangkuriang. Begitu pula dengan Sanghyang Tikoro dan Sanghyang Kenit.

Menurut kepercayaan warga setempat, nama Saguling berasal dari kegagalan Sangkuriang akan perintah dari Dayang Sumbi dengan membendung aliran sungai Citarum buat berlayarnya mereka. Saguling berasal dari kata ‘sagulingeun. “Jadi sagulingeun deui Sangkuriang téh méréskeun bendungan, ngan balébat moncorong panon poé. Sangkuriang murang-maring, kusabab bogoh ka Dayang Sumbi, tuluy diberik lumpatna ka Sanghyang Poék. Ples wéh teu kaningali naon-naon di dinya mah. Sanghyang Poék téh ti dinya asal mulana.”

Gunung tempat Dayang Sumbi mengibaskan kerudung Cindé Wulung yang membuat fajar menyingsing adalah Gunung Putri. Gunung Putri sendiri letaknya di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hal ini yang membuat Kabupaten Bandung Barat erat kaitannya dengan legenda Sangkuriang.

Konon Dayang Sumbi menjelma menjadi bunga Jaksi di gunung tersebut. Meski berbeda tempat, Sanghyang Poèk serta Sanghyang Tikoro banyak dikaitkan dengan legenda tersebut. Sehingga taknjatang dijadikan tempat sakral untuk meditasi atau bertapa.

Tidak hanya legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Berkembang pula cerita-cerita tentang buta serta keraton yang ada di Sanghyang Poèk tersebut. Meski tidak asing bagi masyarakat sekitar, hingga saat ini belum ada referensi tertulis atau pun bukti sejarah yang menjabarkan tentang cerita tersebut.

Bunga Jaksi serta Kerudung Cinde Wulung sendiri mungkin hanya simbol yang jika kita gali banyak terkandung nilai sosial budaya di dalamnya.