INFO BANDUNG BARATDulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.

Dulu orang berhenti membunuh sebab agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.

Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama.

Itulah penggalan dari syair karya Gus Mus dengan judul “Ketika Agama Kehilangan Tuhan”. Rasanya hal itu bukan hanya angan-angan di Indonesia, mengingat di berbagai survei negara kita masuk ke dalam jajaran negara paling religius di dunia.

Sebut saja Sigi Pew Research Center bertajuk The Global God Divide yang menghasilkan 96% responden kita menganggap seseorang mesti beriman kepada Tuhan untuk dapat bermoral, lalu 98% menganggap agama penting dalam hidup mereka.

Majalah CEOWORLD dan Global Business Policy Institute juga pernah melakukan survei untuk mengukur tingkat religiusitas di 148 negara. Hasilnya, Indonesia masuk 10 besar, tapi bukan yang paling religius. Kita berada di posisi tujuh dengan skor 98,7. Posisi puncak ditempati Somalia dengan nilai 99,8, disusul Nigeria (99,7), Bangladesh (99,5), Etiopia (99,3), Yaman (99,1), dan Malawi (99).

Hasil jajak pendapat yang dihelat Statista Global Consumer Survey mirip-mirip. Indonesia masuk jajaran negara yang tingkat religiusitasnya 80-99%. Peringkat pertama di daftar ini ialah Peru. Ada pula empat negara Asia Tenggara lainnya, yakni Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.

Yang agak berbeda ialah hasil survei oleh US News terhadap 17 ribu warga dari negara pada 2022. Di survei ini, Arab Saudi bercokol di posisi teratas mengungguli Israel, sedangkan Indonesia tak masuk 10 besar.

Agama bagi Masyarakat Indonesia  Masih Sebatas Kulit

Menurut Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Ahmad Mutaqqin, agama bagi masyarakat Indonesia masih sebatas kulit yang dangkal dan belum sampai menjadi wawasan dan pedoman hidup.

“Praktik beragama pada warga di Indonesia masih sebatas heaving religius, belum sampai pada being religius,” katanya.

Hal itu dibuktikan dengan kontradiksi dari data tentang besaran persentase religiusitas dan indek korupsi di Indonesia yang nyaris sama.

Paradoks negara paling religius (foto: Freepik)
Paradoks negara paling religius (foto: Freepik)

Bukti lain, sejak kecil kita diajarkan bahwa “kebersihan sebagian dari iman”. Tulisan dan ucapan yang sering kita temui mana-mana. Tapi, buang sampah sembarangan bagi masyarakat Indonesia seolah menjadi tradisi.

Judi online yang kian langgeng tanpa penanganan yang serius, membuktikan manusia yang beragama tapi jauh dari Tuhannya.

Yang paling memilukan adalah terjadi hal-hal kriminal hingga saling singgung bahkan saling bunuh demi membela agama masing-masing.

Itu hanya sebagian bukti bahwa Indonesia kehilangan moral di bawah titel negara paling religiusnya.

Negara Maju Justru Tidak Masuk Kategori Negara Paling Religius

Lalu, apakah tinggi-rendahnya tingkat religiusitas berbanding lurus dengan maju-mundurnya sebuah bangsa?

Sayangnya, hasil survei justru berkebalikan. Negara-negara maju pada umumnya malah tak masuk jajaran bangsa religius. Siapa yang meragukan majunya peradaban Kanada, Finlandia, Swedia, Inggris, Spanyol, Prancis, Jerman, Australia, atau Korea Selatan? Namun, soal religiusitas, tingkatan mereka hanya 40-59%. Siapa yang menyangsikan kehebatan Tiongkok dan Jepang? Asal kita tahu, tingkat religiusitas kedua negara itu hanya 20-39%.

Jika begitu, untuk apa orang percaya agama? Kita tahu, semua agama mengajarkan kebaikan, mendorong kemajuan, meninggikan peradaban. Semua agama melarang manusia berbuat keburukan, menebar kerusakan. Jadi, jika korelasi dengan fakta tidak linear, yang salah pasti bukan agama, tetapi orangnya.