INFO BANDUNG BARAT – Perlawanan perempuan muslim atas cara mereka berpakaian terpotret abadi melalui penamaan suatu daerah. Ada yang secara resmi dijadikan nama suatu daerah maupun penamaan yang bersifat budaya turun termurun hingga popular diucapkan oleh masyarakat.

Tulisan ini membahas asal-usul penamaan nama Parapatan Arab yang berada tak jauh dari Situ Ciburuy. Lokasi tepatnya berada di Jalan Raya Padalarang Kampung Andir, Desa Padalarang, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Sebelum mengetahui apa di balik nama Parapatan Arab, kami ingin memaksa pembaca untuk ingat pra peristiwa di bulan September tahun 2022.

Mahsa Amini, seorang perempuan muda mati dibunuh polisi moral Iran. Ia meninggal di Rumah Sakit Teheran, Iran, setelah 3 hari dirawat.

Meski tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah setempat, tapi publik menduga ada tindak kekerasan aparat selama ia ditahan yang menyebabkan kematiannya. Wajar jika warga menduga demikian, sebab kekerasaan polisi terhadap warga sudah lumrah terjadi di Iran.

Mahsa Amini sebelumnya di tahan pada 13 September 2022 oleh polisi moral lantaran dituding mengenakan pakaian yang tidak pantas dan tidak mengenakan jilbab di depan umum.

Aturan kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan berlaku setelah Iran dikuasai kelompok kanan jauh. Pada tahun 1979, Ayatulloh Khomeini didapuk jadi pemimpin tertinggi Iran.

Iran dikuasai kaum agamawan setelah mereka sukses melancarkan apa yang mereka sebut sebagai “Revolusi Islam Iran” (1978-1979). Apakah mereka satu-satunya kelompok yang melancarkan revolusi? Tidak, kelompok kiri dan liberal juga turut andil menggulingkan kekuasaan dinasti Pahlevi.

Bulan Februari 1979 setelah dinasti Pahlevi digulingkan, Ayatulloh Khomeini mengumumkan bahwa setiap perempuan Iran dianjurkan mengenakan jilbab dan pakaian Muslimah longgar yang tidak mengumbar lekuk tubuh.

Mengutip DW — Kersten Knipp: Mengapa Otoritas Iran Paksa Perempuan Berkerudung?Khomeini bersikeras agar perempuan berpakaian modest menutup semua bagain tubuh.

Ia mengatakan kepada wartawan Italia, Oriana Fallaci dalam sebuah wawancara pada Februari 1979 bahwa “perempuan yang berkontribusi pada revolusi adalah perempuan yang mengenakan pakaian modest.”

Khomeini mengatakan kepada reporter “perempuan genit, yang memakai riasan wajah dan memamerkan leher, rambut, dan tubuh mereka di jalanan, tidak melawan Syah Iran (Mohammad Reza Pahlavi). Mereka tidak melakukan apapun yang benar. Mereka tidak tahu bagaimana menjadi berguna, juga bagi atau pekerjaan. Dan alasannya adalah karena mereka mengusik dan membuat marah orang dengan mengekspos diri mereka sendiri.”

Banyak perempuan Iran yang sebelumnya mengenakan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap Dinasti Pahlevi (rezim berkuasa sebelum Ayatulloh Khomeini), tidak menduga jilbab menjadi kewajiban yang dipaksakan oleh negara (penguasa baru: Khomeini) terhadap warga negara.

Sejumlah kelompok aktivis perempuan sempat memprotes seruan Khomeini tersebut. Meskia khirnya protes itu menghilang seiring kekalahan kelompok kiri dan liberal Iran (1980).

Dikutip dari Historia.idRandy Wirayudha: Prahara Hijab di Tanah Persia– pada tahun 1980 aturan mengenai jilbab diperketat melalui Kitab Hukum Islam ke-5. Dalam pasal 638 ditetapkan, perempuan yang tak mengenakan jilbab terancam hukuman penjara minimal dua hari dan maksimal dua bulan dan atau membayar denda minimal 50 ribu rial dan maksimal 500 ribu rial.

Aturan tersebut diperluas pada tahun 1983 lewat keputusan Majelis Permusyawaratan Islam. Kewajiban berjilbab tak hanya bagi perempuan muslim tapi juga perempuan non Islam. Ganjaran pelanggarannya pun ditambah dengan hukuman 74 kali cambukan dan atau hukuman penjara 60 hari. Sejak saat itu, suka atau tidak suka setiap perempuan, apapun agamanya diwajibkan mengenakan jilbab.

Berbeda dengan di Iran, di tahun 80-an, tepatnya tahun 1982, Indonesia justru baru memasuki babak pelarangan Jilbab.

Potret perempuan Iran pada Revolusi Iran tahun 1979. (Dok. Tehran Times)


Larangan Jilbab Masa Orde Baru

Pemerintah Indonesia melalui Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah menerbitkan SK 052/C/Kep/D.82 terkait pelarangan jilbab di sekolah milik pemerintah/sekolah negeri di bawah Departemen Pendidikan RI pada tahun 1982.

 Dengan diterbitkannya surat keputusan tersebut, pemerintah Indonesia seolah ingin menapaki jejak yang sama dengan dinasti Pahlevi, namun dalam versi terbatas.

Di era dinasti Pahlevi pertama (Reza Syah: 1925-1941), jilbab dilarang dan di era dinasti Pahlevi kedua (Mohamad Reza: 1941-1979), meski tidak dilarang, perempuan Iran berjilbab mengalami diskriminasi dan stigma.

Meski yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa dikatakan menduplikasi apa yang dilakukan rezim Pahlevi dalam versi terbatas, yakni pelarangan jilbab hanya berlaku bagi perempuanyang bersekolah di sekolah milik pemerintah, tetaplah mengalami resistensi atau perlawanan dari arus bawah.

Ivan Garda (44) eks aktivis Remaja Masjid SMAN 9 Bandung menuturkan kenangannya kepada historia.id, “hampir tiap waktu kami turun ke jalan untuk memprotes pemerintah yang kebijakannya tidak berpihak kepada rekan-rekan kami yang berjilbab”.

Api Perlawanan Perempuan Muslim Menyala di Parapatan Arab

Meski larangan jilbab di institusi pendidikan semakin ketat, namun perempuan-perempun muslim Padalarang memilih melawan arus. Mereka berpegang teguh pada syariat islam yang mereka yakini dalam hal menutup aurat.

Kemanapun mereka pergi, mereka tidak pernah melepas penutup aurat termasuk berangkat maupun pulang sekolah. Sikap dan gaya berpakaian masyarakat muslim Padalarang saat itu menjadi penanda tersendiri bagi siapapun yang mengalaminya hidup di era 1980 hingga 1990an.

Dalam situasi macam itulah nama simpang parapatan arab lahir di Padalarang. Simpang parapatan arab lebih dari sekadar secuil nama di Kawasan Padalarang, ia adalah produk budaya masyarakat bawah untuk menandai peristiwa berskala lokal, nasional bahkan global. Semacam upaya pengabadian peristiwa. Itu pun jika kita mau sedikit repot menyingkap lapis demi lapis penanda.

Ada juga yang mengabadikannya melalui poster maupun foto. Gempita revolusi Islam di Iran pada 1979 seakan menjadi siraman bensinyang mengobarkan api perlawanan terhadap pelarangan jilbab. Jika arus bawah Iran mampu menggulingkan rezim Pahlevi yang melarang jilbab, kenapa umat Islam Indonesia tidak bisa melawan hal serupa.

Fastabiqul Haq (57) eks aktivis Masjid Salman ITB era 1980-an kepada historia.id, masih ingat bagaimana gambar-gambar para demonstran perempuan Iran yang berjilbab hitam banyak dipajang di pintu-pintu kosan mahasiswa.

Sejauh penelusuran penulis, kisah tentang asal usul penamaan simpang parapatan arab pertama didapat penulis dari penuturan Imas M (54), seorang perempuan muslim asal kampung Cidadap, desa Padalarang yang hidup dan menyaksikan betul perlawanan itu di medio 1980-an.

Menurut Imas, nama simpang parapatan arab mulanya beredar di kalangan kondektur dan supir bus untuk menandai tempat pemberhentian penumpang yang berstatus pelajarnamun berjilbab.

Tidak hanya Imas yang bersekolah mengenakan jilbab, masih banyak lagi warga di kampungnya juga yang konsisten mengenakan jilbab. Yang lain kebanyakan bersekolah di sekolah swasta. Sebab di era pelarangan jilbab (tahun 80-90-an awal) jika ingin sekolah namun tetap mengenakan jilbab pilihannya hanyadua; di sekolah swasta atau sekolah negeri yang di bawahdepartemen agama.

Oleh karena kuantitas pelajar berjilbab yang banyak itu, tempat pemberhentian ini menjadi spesial di mata supir dan kondektur kendaraan angkutan umum.

Maka, tempat pemberhentian ini dinamakan parapatan arab, diksi arab dipilih karena style fesyen dengan mode jilbab era itu kerap diasosiasikan dengan perempuan muslim di negara Arab.