38°C
25/06/2025
Bhineka Komunitas

Fenomena Sosial di Balik Gelar “Habib” dan “Gus” di Indonesia: Antara Penghormatan dan Pengkultusan

  • Mei 16, 2025
  • 2 min read
  • 14 Views
Fenomena Sosial di Balik Gelar “Habib” dan “Gus” di Indonesia: Antara Penghormatan dan Pengkultusan

INFO BANDUNG BARAT--Gelar “Habib” dan “Gus” telah lama menjadi bagian dari tradisi keagamaan dan budaya pesantren di Indonesia. Namun, di tengah perkembangan sosial saat ini, muncul fenomena baru di masyarakat: pemujaan berlebihan terhadap pemilik gelar tersebut yang berujung pada relasi kuasa yang timpang.

Secara kultural, gelar “Habib” diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW, sementara “Gus” digunakan sebagai sapaan kehormatan untuk anak kiai di lingkungan pesantren, terutama di wilayah Jawa. Keduanya dipandang sebagai simbol kehormatan dan otoritas spiritual. Namun, penghormatan itu perlahan berubah menjadi kekebalan sosial, di mana individu dengan gelar keagamaan tersebut cenderung tidak tersentuh kritik bahkan ketika melakukan pelanggaran etis atau hukum.

“Fenomena pengkultusan ini semakin terlihat ketika masyarakat lebih mempertimbangkan status religius daripada substansi tindakan. Kritik dianggap tabu, dan pelanggaran cenderung ditoleransi,” tulis sebuah laporan di laman Asahan Satu.Laporan Rabithah Alawiyah, lembaga yang mengelola pencatatan nasab keturunan Nabi di Indonesia, mencatat terdapat lebih dari 1,2 juta orang yang terdaftar sebagai dzurriyah (keturunan Nabi).

Sayangnya, banyak juga pihak yang mengaku sebagai keturunan tanpa bukti sah, bahkan membeli gelar “Habib” lewat jalur tidak resmi. Tempo mencatat adanya praktik jual-beli gelar dengan harga jutaan rupiah di platform digital.Tak jauh berbeda, gelar “Gus” juga tidak luput dari penyalahgunaan. Beberapa tokoh publik menyandang gelar ini tanpa latar belakang pesantren atau keluarga kiai, memanfaatkan gelar tersebut untuk membangun citra religius dan menarik simpati politik.

Survei Alvara Research Center pada 2023 mencatat bahwa 43% responden lebih percaya pada ceramah dari tokoh bergelar “Habib” atau “Gus” dibandingkan tokoh tanpa gelar. Hal ini menunjukkan kuatnya persepsi masyarakat terhadap simbol keagamaan, meski kadang tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang latar belakang sang tokoh.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan lahirnya feodalisme baru dalam ruang sosial dan keagamaan. Di mana penghormatan terhadap gelar justru meminggirkan nilai kritis, akuntabilitas, dan egalitarianisme yang sejatinya dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.

“Yang patut dihormati adalah ilmunya, bukan gelarnya. Tapi masyarakat kita masih terjebak dalam budaya status,” ujar seorang pengamat sosial dalam wawancara dengan media lokal.

Penguatan literasi keagamaan dan pendidikan kritis menjadi langkah penting untuk membangun masyarakat yang tetap menghormati tradisi, namun tidak kehilangan kemampuan berpikir rasional dan adil.

About Author

Ayu Diah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *