INFO BANDUNG BARATTak hanya pesona alamnya yang memukau, Kecamatan Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat menyimpan sejarah kepemimpinan seorang tokoh yang mahsyur pada masanya. Kisah sejarah tersebut terekam di sebuah daerah bernama Kampung Balandongan Desa Rancasenggang Kecamatan Sindangkerta, tepatnya di kaki Gunung Tugu.

Di kampung ini terdapat sebuah makam tokoh yang terkenal pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Karena adanya konspirasi politik dari Kerajaan Mataram dan pemerintahan Belanda, tokoh tersebut tidak lagi disebut-sebut namanya dan dilupakan oleh sejarah.

Raden Puspamanggala dan Ketokohannya di Sindangkerta

Tokoh itu bernama Raden Puspamanggala, ia adalah putra dari Bupati Sukapura (wilayah Tasikmalaya) yang pertama. Ayahnya bernama Raden Wirawangsa. Istrinya bernama Nyai Raden Purwokusuma yang merupakan putri dari Bupati Parakanmuncang (kini menjadi wilayah Sumedang bagian selatan). Raden Puspamanggala dan istrinya dimakamkan berdampingan di tempat itu.

Ketokohannya bermula ketika sebagian wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat masih bernama Batulayang. Batulayang sendiri terbagi menjadi beberapa wilayah, di bagian selatan (Ciwidey, Kabupaten Bandung) dipimpin oleh Adipati Kertamanah. Sementara di distrik Sindangkerta (Cililin, Rancapanggung, Cipongkor, Rongga, Sindangkerta, dan Gununghalu) dipimpin oleh Raden Wirahadikusuma. Raden Wirahadikusuma kemudian diangkat menjadi Bupati Sukakerta (Tasikmalaya).

Raden Wirahadikusuma lah yang membangun tugu berupa batuan menhir di Gunung Tugu yang merupakan tempat disemayamkannya Raden Puspamanggala dan istrinya. Tugu tersebut yang menjadi patok kewilayahan daerah Batulayang.

Batulayang distrik Sindangkerta (foto: Kisah Tanah Sunda)
Batulayang distrik Sindangkerta (foto: Kisah Tanah Sunda)

Selanjutnya kepemimpinan Batulayang distrik Sindangkerta diberikan kepada Raden Wirawangsa yang merupakan putra dari Raden Wirahadikusuma. Barulah setelah Raden Wirawangsa berpindah kepemimpinan menjadi Bupati pertama Sukapura, putranya, Raden Puspamanggala mengambil alih kepemimpinannya di Batulayang.

Kekacauan yang Terjadi di Batulayang

Pada masa peralihan kepemimpinan dari Raden Wirawangsa ke Raden Puspamanggala, terjadi sebuah peristiwa yang dinamakan ‘Bandung Rungsit’ yang menimbulkan kekacauan di mana-mana. Salah satunya disebabkan sisa pemberontakan Raden Trunojoyo pada Kesultanan Mataram.

Kekacauan lain ditimbulkan oleh tokoh legendaris Tanah Sunda yaitu Adipati Ukur yang berjuang melepaskan tanah Sunda dari penjajahan Mataram. Yang paling kacau adalah adanya perebutan wilayah Batulayang oleh Parakanmuncang dan Bandung yang mana keduanya merupakan saudara dari Raden Puspamanggala.

Akibat kekacauan-kekacauan tersebut, akhirnya Mataram menghapuskan nama Batulayang dan berubah menjadi bagian dari Kabupaten Bandung. Kemudian muncul sebuah piagam yang konon merupakan konspirasi politik. Piagam tersebut menyiratkan seakan hanya Raden Wirawangsa, Raden Tanubaya dan Raden Astamanggala lah yang berjasa menunpas Adipati Ukur. Sehingga ketiganya diangkat menjadi bupati di Sukapura, Parakanmuncang, dan Bandung.

Padahal tanpa piagam dari Mataram sekalipun, tokoh-tokoh tersebut tetap layak mendapatkan kedudukannya karena faktor keturunan.

Karena Batulayang sudah dihapuskan dan kepemimpinannya dibatalkan. Pada akhirnya Raden Puspamanggala memilih berdiam diri dan bersembunyi di kaki Gunung Tugu, tempat ayah dan kakeknya memimpin pada masa sebelumnya.

Kemudian ia membagi ilmu-ilmu politik kepada masyarakat di Kadaleman Cikundul. Uniknya, petilasan Raden Puspamanggala di Kadaleman Cikundul, Cikalong, Cianjur lebih terkenal dari makam aslinya yang berada di Kampung Balandongan ini.***