
INFO BANDUNG BARAT—Kebaya telah didaftarkan sebagai salah satu warisan budaya UNESCO. Dengan didaftarkannya kebaya, muncul sebuah harapan agar masyarakat semakin menerima ragam budaya Indonesia dari berbagai asal sebagai identitas nasional.
Dosen Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, mengatakan kebaya bisa menjadi identitas budaya Indonesia kelokalan dengan sejarah panjang busana di Nusantara.
Ia mengatakan kebaya memiliki keunikan tersendiri karena sejarah panjang sebagai salah satu busana yang berkembang di Nusantara. Sejarah kebaya juga bisa dikulik melalui sejarah kain panjang seperti batik Solo, batik Yogyakarta, batik Peranakan, dan lainnya.
Akulturasi berbagai budaya
Dikutip dari laman Warisan Budaya Takbenda Indonesia Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, kebaya diperkirakan dibawa oleh pendatang etnis Cina yang berdagang ke Indonesia dan dipakai oleh perempuan Eropa untuk acara resmi. Melalui akulturasi budaya yang ada di Indonesia, kebaya bisa diterima dan menjadi kebanggaan masyarakat sebagai identitas nasional yang patut diperjuangkan.
Masyarakat harus menyadari keragaman budaya di Indonesia karena banyak pengaruh kebudayaan yang masuk, seperti Peranakan, Eropa, hingga Arab. Kebaya menjadi salah satu kontribusi keragaman budaya di Indonesia sebagai negara adibudaya. Masyarakat perlu saling menerima dan tidak menghiraukan dari mana asal budaya tersebut datang.
Kebaya di tahun 1300-1500 Masehi didominasi budaya Tionghoa
Ada yang menyatakan bahwa kebaya berasal dari Cina lalu menyebar ke Jawa, Bali, Sumatera, hingga Sulawesi setelah mengalami akulturasi yang berlangsung ratusan tahun. Kemudian kebaya dapat diterima pada budaya dan norma Indonesia.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kebaya merupakan pakaian tradisional asli Indonesia. Khususnya di daerah Jawa, seiring dengan penyebaran Islam pada abad ke-13.
Dilansir dari bobo.grid.id, kebaya memiliki makna khusus dan nilai-nilai kehidupan. Bentuknya yang sederhana dapat disebut sebagai wujud kesederhanaan masyarakat Indonesia.
Selain itu, kebaya juga mengandung nilai kepatuhan, kehalusan, dan sikap wanita yang harus serba lembut. Penggunaan kain yang melilit tubuh juga otomatis membuat pergerakan wanita yang mengenakannya menjadi terbatas dan sulit untuk bergerak cepat, sehingga selalu identik dengan pribadi wanita Jawa yang lemah gemulai.
Hingga kini, kebaya sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Awal mula hadirnya kebaya ialah pada tahun 1300 sampai 1600 Masehi. Bentuk pakaian berupa baju semacam tunik yang biasa digunakan oleh perempuan Tionghoa di masa Pemerintahan Dinasti Ming.
Kemudian pada tahun 1500 sampai 1600 Masehi, perempuan imigran Tionghoa mulai masuk ke wilayah Nusantara yang kemudian berkembang menjadi kebaya encim.

Saat itu, pakaian tersebut menjadi cikal bakal munculnya kebaya berupa baju atasan sejenis tunik dengan lengan panjang, menutup leher dan lutut, serta berbentuk mirip baju kurung.
Di tahun 1500-an, kebaya mulai dikenal sebagai pakaian khusus oleh anggota keluarga keturunan para Raja di Pulau Jawa.
Kebaya di tahun 1800-1900 Masehi pada masa penjajahan
Pada tahun 1800 bersamaan dengan era Pemerintahan Hindia Belanda, bahan pakaian seperti beludru dan berbagai jenis kain sutera serta tenunan halus lainnya mulai muncul menggantikan bahan katun hasil tenunan yang sederhana.
Di waktu itu, penggunaan kebaya diterapkan menurut kelas sosial. Keluarga keraton dan para bangsawan mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan sutera, beludru atau brokat.

Perempuan Belanda atau keturunan bangsa asing mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan katun dengan bentuk dan potongan yang lebih pendek. Keturunan Eropa lainnya yang berdiam di Indonesia mengenakan baju kebaya berbahan katun halus dengan hiasan brokat di pinggirnya.
Terakhir adalah kalangan biasa memakai kebaya dari bahan katun atau tenun yang harganya murah.
Tahun 1900, kebaya tidak hanya digunakan oleh penduduk asli Jawa tetapi juga dikenakan sebagai busana sehari-hari oleh perempuan keturunan Tionghoa maupun Belanda.
Kebaya pasca kemerdekaan
Tahun 1945 sampai 1960-an, kebaya semakin meluas dalam kehidupan rakyat Indonesia, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Tahun 1970 hingga 1980-an, pengaruh budaya pop yang kuat dari Eropa dan Amerika membuat jalur dunia mode Indonesia berpaling ke sana. Berbagai tren fesyen bermunculan menunjukkan gaya modern yang mengikuti arus mode di Eropa dan Amerika.
Tahun 2000, masa kejayaan kebaya kembali. Para perancang busana berlomba membuat kebaya modern dengan bentuk yang sangat serasi di badan dengan beragam bahan kain kebaya yang indah, bahkan menggunakan bahan yang mewah, seperti sutera organdi, lace, kain shantung bahan tekstil impor, serta berbagai bahan yang terbuat dari serat alam lainnya, seperti tenunan serat nanas dan serat pisang.

Bahkan ada pula kebaya yang kini terbuat dari perpaduan unsur dan bahan, seperti logam, kristal, serta beragam manik-manik dan kerang.
Ada dua jenis kebaya, yaitu kebaya encim dan kebaya kutu baru. Kebaya encim adalah jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan keturunan Tionghoa dihiasi dengan sulaman dan bordiran, sedangkan kebaya putu baru bergaya tunik pendek berwarna-warni dengan motif yang cantik.***