INFO BANDUNG BARAT—Laporan dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime tahun 2021 menyebutkan, negara-negara di Asia Tenggara telah menjadi tujuan impor sampah terbesar. Sampah-sampah tersebut berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Namun, banyak dari negara pengimpor sampah hanya memiliki fasilitas daur ulang dasar.
Banyak dari negara pengimpor sampah yang mayoritas merupakan negara berkembang. Negara berkembang juga biasanya tidak memiliki fasilitas untuk mengolah sampah dengan aman dan efektif. Kondisi tersebut membuat negara tujuan impor sampah, termasuk Indonesia, tidak dapat mengolah limbah campuran ataupun B3 secara khusus. Hal ini ditegaskan dalam laporan dan investigasi dari Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton) yang mengungkap bahwa sebagian sampah yang diimpor ke Indonesia tidak dikelola dengan baik oleh perusahaan.
Beberapa negara pengekspor masih menyisipkan sampah plastik, seperti bungkus makanan yang elastis saat proses impor sampah kertas ke Indonesia. Pada akhirnya, sampah campuran plastik dari hasil impor dikelola dengan cara dibuang atau dibakar hingga menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan bagi manusia. Sampah plastik yang dibakar dapat melepas racun dioksin yang sangat berbahaya bagi manusia. Sementara pembakaran sampah plastik dapat melepas mikroplastik.
Indonesia belum memiliki pengelolaan sampah yang baik
Dilansir dari kompas.com, Direktur Eksekutif Ecoton Daru Setyorini mengemukakan, sampah impor yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1970-an lebih banyak dari jenis kertas mengingat saat itu sedang terjadi pertumbuhan pabrik kertas. Pada tahun 2019, jumlah sampah impor ke Indonesia meningkat setelah China menutup impor sampah ke negaranya.
”Pengumpulan sampah di negara maju sudah terpilah, tetapi mereka tidak mau mendaur ulang. Akhirnya mereka membuang sampahnya ke negara berkembang dengan alasan untuk didaur ulang. Sebenarnya kita mengalami penjajahan karena ekspor sampah ini,” ujarnya dalam diskusi daring terkait dengan sampah impor akhir Agustus lalu.
Dengan jumlah penduduk mencapai 280 juta jiwa, Indonesia memang bisa menghasilkan sampah daur ulang dengan jumlah yang besar. Akan tetapi, mayoritas sampah daur ulang di Indonesia tidak dipilah dengan baik sehingga tercampur dengan jenis sampah lainnya.
Rini mengakui bahwa Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang menyeluruh. Setidaknya sebanyak 70 persen sampah belum dikelola dengan benar. Hal ini membuat banyak sampah tercecer ke lingkungan ataupun dikelola dengan cara dibakar.
Sebaliknya, mayoritas negara maju sudah menerapkan pemilahan sampah dengan baik sehingga sampah organik umumnya tidak mengotori sampah daur ulang. Di sisi lain, persediaan sampah dari negara maju juga relatif banyak. Faktor kuantitas dan kualitas inilah yang membuat perusahaan di Indonesia masih mengimpor sampah dari negara lain.
”Industri kertas di Indonesia membutuhkan bahan baku sampah kertas sekitar 6 juta ton dan 50 persennya masih disuplai oleh pengimporan. Bila Pemerintah Indonesia serius ingin memperbaiki sistem pengelolaan sampah dalam negeri, saya yakin pasokannya akan cukup karena sampah kertas bisa dari pasar ataupun pertokoan,” tuturnya.