INFO BANDUNG BARAT—Pasca Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok-kelompok bersenjata muncul di mana-mana. Baik besar maupun kecil. Jika grup-grup besar membentuk milisi yang berafiliasi dengan partai-partai politik, maka kelompok-kelompok kecil berdiri sendiri dengan menempati wilayah tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka malah menjadi gerombolan-gerombolan kriminal yang kegiatannya merampok rakyat.
Tidak terkecuali di wilayah Kabupaten Bandung Barat, tahun 1945-1947 tak ada seorang pun yang berani melintas di Jalan Tagog Apu, Padalarang di atas pukul 16.00. Karena di jalur tersebut, muncul kelompok kriminal tersebut. Mereka biasa beraksi dengan mencegat kendaraan-kendaraan yang lewat atau para pedagang yang akan berangkat ke Kota Bandung.
Dilansirdari situs historia.id, menurut warga setempat, orang-orang yang bergabung dalam kelompok liar itu adalah eks para romusha (pekerja paksa di era bala tentara Jepang berkuasa) yang baru kembali dari Sumatera, Kalimantan bahkan Burma (Myanmar) dan Thailand.
Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjaannya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya.
Asal Kata Gabungan Romusha Ngamuk
Karena status mereka bekas romusha, orang-orang sekitar tempat itu kemudian mengidentifikasi mereka sebagai garong. Singkatan dari gabungan romusha ngamuk. Istilah inilah yang selama revolusi berkecamuk cukup mengganggu masyarakat dan menjadi momok menakutkan. Mereka bukan saja dicari oleh pihak keamanan Republik namun juga diincar oleh tentara Belanda.
Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda, selama berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun.
Pengalaman Pramoedya Ananta Toer mengenai Garong
Soal gejala munculnya garong ini dikonfirmasi oleh penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah karyanya yang berjudul Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dia menuturkan pengalaman pribadinya semasa menjadi seorang prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakjat) berpangkat sersan mayor di Resimen Cikampek.
Pram berkisah suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. Bisa jadi yang dimaksud oleh Pram sebagai Doejeh adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.
“Tapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya. Anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Aku harus menunggu di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain,” ungkap Pram.
Kala bercengkerama dengan para prajurit Resimen Cililin inilah, Pram mendengar cerita salah seorang dari mereka mengenai banyaknya garong merajalela di wilayah Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Menurut sang prajurit, para garong itu terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda.
“Mereka melakukan perampokan di mana saja bila dianggap tak ada penjagaan yang kuat,” tulis Pram.
Para garong ini biasanya merampok dengan menggunakan senjata api pendek. Senapan atau karabin pun digergaji larasnya menjadi pendek dan mudah disembunyikan di balik sarung.
“Ketika aku tanya apa artinya garong, mereka menjawabnya: singkatan dari gabungan romusha ngamuk,” ungkap tentara yang kemudian banting setir menjadi sastrawan itu.