INFO BANDUNG BARAT—Penghayat kepercayaan di Nusantara yang dahulu dikenal sebagai agama lokal, telah ada jauh sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi, pengakuan atas keberadaannya terus alami dinamika.
Lantas, seperti apakah gambaran realitas kehidupan masyarakat penganut kepercayaan ini di Indonesia kini? Bagaimana lika-liku yang mereka alami dalam memperoleh hak-haknya dan agar dipandang setara?
Kesulitan penganut penghayat kepercayaan dalam bersosial
Menurut Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif, atau yang akrab disapa Anchu, pendidikan bagi penganut kepercayaan ini di sekolah masih ditemukan kesulitan.
Banyak negosiasi, perjuangan yang harus dilakukan. Ada yang berhasil, tidak sedikit yang gagal juga. Banyak penolakan dari sekolah, dengan banyak macam alasan.
Jika ada penyuluh untuk penghayat kepercayaan itu, sifatnya memang kerja volunter, tidak ada anggaran khusus. Penyuluh itu terkadang harus mengajar lintas kecamatan, bahkan kabupaten. Itu menunjukkan bagi penghayat ketidakseriusan negara.
Penganut penghayat kepercayaan di Lembang Bandung Barat
Dilansir dari IDNTimes, menurut Indra Anggara, penyuluh aliran kepercayaan Budi Daya di Lembang, di wilayahnya, ada 63 siswa yang tersebar di berbagai sekolah tingkat SD hingga SMA. Sementara jumlah penyuluh penghayat hanya 10 orang. Jumlah itu jadi kendala sulitnya belajar siswa aliran kepercayaan.
Kata Indra, perundungan kepada siswa penganut aliran kepercayaan masih sering terjadi di lembaga pendidikan. Bukan hanya dari sesama siswa, tetapi juga dari tenaga pengajar yang membuat siswa sakit hati.
Karena dianggap berbeda dari mayoritas siswa, anak-anak ini kerap mencurahkan isi hati mereka kepada orangtua dan penyuluh. Alhasil, penyuluh cukup sering mendatangi sekolah dan memberikan penjelasan mengenai apa itu aliran kepercayaan yang mereka anut.
Selain kepercayaan Budi Daya, adapun para penghayat kepercayaan lain berada di Kecamatan Lembang, Cisarua, Gununghalu, Ngamprah, Parongpong, dan Kecamatan Cipongkor. Sebagian besar dari mereka menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Meski penghayat kini sudah lebih membuka diri, tapi mereka masih alami tantangan dalam hal penerimaan di tengah masyarakat. Salah satunya terkait tempat ibadah. Meski sudah dapat izin untuk mendirikan bangunan, tapi kadang masih ada kendala di sisi masyarakat di lapangan.
Orang awam akan melihat penghayat sebagai “Kejawen”, yang bisa berarti mereka memeluk agama tapi tidak secara ketat menjalankan kewajiban agama dan di saat bersamaan mereka menjalankan ritual atau tradisi tertentu.
Solusi yang bisa ditempuh
Menurut pengamat budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dhoni Zustiyantoro, untuk merekatkan kohesi sosial, penting kehadiran negara di level paling bawah kehidupan masyarakat yang majemuk. Cara yang dilakukan misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan rutin dalam bingkai keberagaman dan kebangsaan.
Selain itu, kesadaran akan keberagaman bisa dibangun melalui dialog rutin yang melibatkan tokoh beragam latar belakang, termasuk penghayat kepercayaan. Upaya itu agar kelompok penghayat kepercayaan mendapat tempat yang sama di masyarakat dan menghapus stigma negatif selama ini.***
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan