INFO BANDUNG BARAT—Kacapi merupakan salah satu instrument [musik] kesenian sunda utama. Kacapi biasa digunakan dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan Kacapi Suling.
Kacapi memiliki tangga nada atau merupakan instrumen musik melodis [atau menghasilkan nada-nada melodis]. Keberadaan alat musik ini sudah cukup lama. Diperkirakan kacapi sudah ada sebelum abad ke-15, yakni dapat dirujuk pada sejarah kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda.
Mulanya, alat musik ini digunakan untuk mengiringi seni Pantun Sunda. Menurut Nia Dewi Mayakania (1993:62), seni pantun Sunda sendiri sudah ada sebelum abad ke-15. Pendapatnya ini didasarkan pada naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang menyitir pantun sebagai berikut, “hayang nyaho di pantun ma: Langgarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: Prepantun tanya (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun)”.
Keberadaannya tidak dapat dilepaskan pula dengan cara kehidupan masyarakat Sunda, yang pada masa sekitar abad ke-15, hidup dengan cara berladang. Masyarakat ladang hidup dengan menanam, memelihara, dan mengembangkan padi dan tanaman lainnya. Obsesi masyarakat ladang yaitu “menghidupkan” [Jakob Sumardjo], bersifat pragmatis, serta religius.
Makna Filosofis Kacapi Sunda
Kata “Kacapi”, menurut satu pendapat, merujuk pada pohon yang oleh orang Sunda dinamai pohon “kacapi”, semacam pohon sentul. Pohon ini dipercaya oleh orang masyarakat Sunda sebagai bahan yang digunakan untuk membuat kecapi pada awalnya; sehingga penamaan kacapi pun diambil dari nama pohon tersebut. Namun, karena perkembangan jaman, maka bahan dasar pembuatan kacapi pun berubah atau berganti dengan bahan dari kayu-kayu lainnya.
Selain pendapat di atas, terdapat pemaknaan lain dari kata kacapi ini. Menurut budayawan Tembang Cianjuran, Kacapi tersusun dari dua suku kata, yaitu “kaca” [yang bermakna] “bersih, bening, suci”, dan kata “Pi” yang berarti “bahan”. Dengan demikian, secara literal, Kacapi bermakna “bahan yang bersih [bening atau suci].
Makna Fisik dan Batin dalam Kacapi
Secara fisik, pemaknaan kacapi ini merujuk pada beberapa hal, yakni 1) benda ini harus dibuat dari barang yang bersih dari kotoran. 2) benda ini harus selalu dibersihkan; kedua pemaknaan ini berarti ajaran dan motivasi untuk selalu memperhatikan unsur kesehatan dan kebersihan. 3) benda ini dimaksudkan untuk menghasilkan suara “yang jernih, bersih, dan indah”, yakni dengan senar yang di”steam” akan menghasilkan komposisi tangga nada dan suara tertentu yang nyaring, bersih, indah, dan bertangga nada.
Sedangkan di lihat dari aspek batin, pemaknaan kecapi ini merujuk pula pada beberapa hal, yakni 1) benda ini harus dihasilkan dari bahan yang halal atau berasal dari hasil usaha benar. 2) benda ini dimaksudkan sebagai media untuk “membersihkan hati dan jiwa” bersama dengan pemaknaan dan penghayatan terhadap syair tembang [lagu] yang diiringi oleh kacapi tersebut.
Dilihat dari komposisinya, alat ini terdiri dari dua bagian utama, yakni 1) “wadag”, atau kayu penopang senar dan 2) senar. Pemilihan kayu yang dijadikan bahan kacapi didasarkan pada aspek estetis dan fungsional. Secara estetis, kayu yang dipilih adalah a) kayu yang ringan, tapi kuat, agar portable (mudah dibawa, tetapi tetap kuat. 2) kayu yang wangi, agar membantu dalam konsentrasi dan agar di pemetik kacapi menjadi wangi pula. 3) kayu yang mudah diukir, agar memudahkan untuk pengukiran, penghiasan, dan sehingga memiliki nilai keindahan [estetika] tinggi. Semakin estetis sebuah kacapi [dan semakin tua tapi tetap kokoh], maka kacapi tersebut memiliki nilai seni dan nilai instrinsik tinggi.
Kacapi adalah Simbol Dualitas
Sedangkan aspek fungsional, kayu yang dipilih adalah a) kayu yang menghasilkan suara yang nyaring atau proporsional [“pas”]. b) bahan yang dapat menyatu dengan jiwa si pemetik kacapi. Aspek kedua ini, lebih pada aspek kejiwaan dan chemistry (kecocokan).
Orang Sunda sering mendengar sebutan untuk “kacapi” yang memiliki kecocokan dengan pemilik atau pemetik kacapi ini dengan istilah “si mawat”. Hal ini menunjukkan aspek kedekatan atau penyatuan antara kacapi dan pemiliknya. Untuk menghasilkan chemistry seperti ini, tidak jarang, pembuat kacapi dan pemiliknya melaksanakan “ritual” tertentu. Seperti melakukan tirakat dan puasa dulu ketika memilih bahan, membuat kacapi, dan ketika akan memetik kacapi.
Komposisi “wadag” dan “senar” memiliki makna simbol dualitas aspek kehidupan, badan-batin [manusia], siang-malam [hari], langit-bumi [alam], dan lainnya. Keduanya ada untuk saling melengkapi dan menciptakan harmoni [keseimbangan dan keindahan]. Demikianlah dengan wadag dan senarnya yang dimaksudkan untuk menciptakan harmonisasi suara dan keindahannya.
Pemaknaan Senar Kacapi
Senar yang terdiri dari 18 senar, yakni diurai menjadi angka 17+1. Angka 17 merujuk pada “rakaat shalat” yang berjumlah 17, sedangkan angka 1 menunjukk pada tauhidullah, yakni keyakinan bahwa “Allah” yang maha Tunggal [Maha Esa].
Cara menyeteam senar pun tidak sembarangan, yakni harus dilakukan menggunakan “ibu jari” dan “jari telunjuk”. Ini juga memiliki pemaknaan simbolis, yakni “ibu jari” merupakan simbol “kebaikan”, sedangkan “jari telunjuk” menunjukkan “alat petunjuk”. Dengan demikian, penggunakan kedua jari ini menyimbolkan bahwa kecapi dimaksudkan sebagai media petunjuk pada kebaikan, terutama pengenalan dan keyakinan terhadap keberadaan Allah SWT. Selebihnya, jika menyeteam senar tersebut masih belum kuat, maka orang yang melakukan “steam” tersesbut harus menggunakan “jari tengah”. Hal ini menyimbolkan bahwa “kehidupan manusia haruslah mampu memposisikan diri dalam “siger tengah” atau moderat [berdiri di tengah].
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan