INFO BANDUNG BARAT—Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu diramaikan oleh komunitas budaya, tokoh dari berbagai agama dan suku dari seluruh penjuru tanah air serta warga sipil yang melangsungkan Upacara Adat Ngertakeun Bumi Lamba pada Minggu (23/6/2024).

Upacara yang rutin dilakukan setiap tahun sejak 16 tahun lalu ini bertajuk Kuwera Bakti Jala SuTrah Nusantara. Kuwera Bakti adalah penanda selang waktu delapan tahun atau “Windu” dari upacara ini.

Windu sejak dahulu telah digunakan sebagai penanda pergantian fase kehidupan. Windu memiliki siklus yang terdiri dari 4 siklus, sehingga satu siklus windu memakan waktu 32 tahun.

Tahun ini Upacara Ngertakeun Bumi Lamba hendak mengakhiri siklus ke duanya yaitu 16 tahun, dan hendak memasuki siklus ke tiga. Jika diibaratkan manusia, siklus windu ke tiga (usia 17-24 tahun) adalah masa di mana api semangat untuk belajar, berkembang, dan berjejaring sedang sangat membara.

Upacara tahun ini sekaligus menjadi pengantar untuk memasuki windu ke tiga agar api yang membara itu menjadi energi penggerak yang positif bagi para pewaris pengetahuan leluhur Nusantara.

Ngertakeun Bumi Lamba sendiri adalah cita-cita dan jalan hidup leluhur yang tertulis dalam salah satu bagian pembuka naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka/1528 Masehi) sebagai pengingat tempat yang menjadi kabuyutan dan harus disucikan.

Upacara dibuka dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan pembacaan Pancasila sebagai simbol nasionalisme yang ditanamkan dalam rangkaian Ngertakeun Bumi Lamba.

Dilanjutkan dengan Mapag Sesajen dan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka-pemuka agama dari berbagai agama di Indonesia sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala elemen kehidupan yang saling berdampingan dengan kita sebagai umat manusia.

Puncak dari upacara ini adalah melemparkan atau “ngalung sajen” di Puncak Kawah Ratu Gunung Tangkuban Parahu yang dipimpin oleh sesepuh-sesepuh dari Tatar Sunda sebagai simbol terima kasih kepada buyut, yang seperti disebutkan di atas bahwa Gunung Tangkuban Parahu adalah kabuyutan yang suci.

Selain itu upacara ini memberikan pandangan bahwa segala sesuatu yang kita konsumsi adalah hasil kerja sama alam semesta dan dikembalikan lagi kepada alam semesta dengan harapan agar hasil bumi yang dihasilkan juga semakin baik dan berkah.

Secara keseluruhan, Ngertakeun Bumi Lamba adalah bukti bahwa Tuhan Yang Maha Esa, manusia, seluruh makhluk hidup, dan alam semesta semestinya selaras dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Menumbuhkan rasa syukur atas apa yang telah kita rasakan dan kita konsumsi sebagai hasil dari keselarasan tersebut.***