INFO BANDUNG BARATDi Indonesia, aturan seragam sekolah yang diskriminatif bukan yang pertama kali. Beberapa tahun lalu, isu serupa terjadi di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu, Riau. Di Yogyakarta malah terdapat tiga sekolah menengah yang terlibat kontroversi imbauan berjilbab.

Ribut-ribut soal peraturan wajib berjilbab bagi siswi non-muslim di sekolah negeri, juga sempat mewarnai Jakarta di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2016. Ahok meminta kepada para kepala sekolah negeri di Jakarta agar tidak memaksa siswinya yang non-muslim memakai jilbab demi menjunjung toleransi beragama.

40 tahun lalu, kondisinya justru terbalik. Rezim Orde Baru malah berusaha menghalangi siswi-siswi sekolah negeri mengenakan jilbab saat pergi ke sekolah. Kebijakan menyeragamkan busana sekolah yang pertama kali, disosialisasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef pada awal dekade 1980-an. Hal ini lantas memicu reaksi negatif dari kalangan umat Islam.

Larangan berjilbab

Konflik antara pemerintah dengan umat Islam di bidang pendidikan sudah mulai meruncing pada pengujung tahun 1970-an. Begitu dilantik sebagai Mendikbud, Daoed Joesoef langsung mengevaluasi hari libur sekolah. Selama bulan suci Ramadan, anak-anak sekolah tidak lagi libur satu bulan penuh seperti sebelumnya.

Melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978, hari libur bagi siswa SD, SMP, dan SMA ditetapkan hanya 10 hari (tiga hari pada awal puasa dan tujuh hari setelah Idul Fitri). Keputusan ini tidak disambut baik oleh sejumlah organisasi Islam dan cendekiawan muslim. Buya Hamka yang kala itu Ketua MUI, menentang keras dan menyerukan kepada sekolah-sekolah Islam agar tetap meliburkan siswanya sepanjang bulan puasa.

Tokoh-tokoh Islam yang merasa keputusan tersebut diambil tanpa perundingan merasa sangat terusik. Mantan Menteri Pendidikan H.M. Rasjidi termasuk yang mengkritik keras kebijakan pendidikan sekuler ala Daoed Joesoef. Menurutnya, sebagaimana terurai dalam buku Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia (2004: 149), kebijakan tersebut “akan mengasingkan jutaan anak Muslim dari suasana keagamaan selama bulan Ramadan.”

Keadaan semakin runyam tatkala Mendikbud kembali membuat kelompok Islam berang melalui kebijakan pelarangan pemakaian jilbab bagi siswi sekolah negeri. Berdasarkan peraturan seragam sekolah yang terbit tidak lama setelah kebijakan penghapusan libur Ramadan, semua siswa SMA negeri pada masa itu diwajibkan memakai seragam tanpa penutup kepala.

Sebagian besar kepala sekolah negeri di Jakarta, Bandung, dan Surabaya dengan segera tunduk pada aturan baru tersebut. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa pemakaian jilbab merupakan bentuk pelanggaran terhadap disiplin sekolah yang disahkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas, melalui Surat Keputusan No.52 tahun 1982.

Diskriminasi terhadap siswi yang mencoba berjilbab pun mulai terjadi. Para guru tidak jarang menolak mengajar jika masih ada siswi berjilbab di kelasnya. Dalam penelitian tentang kebijakan pelarangan memakai jilbab di Surabaya tahun 1982-1991, Salsabila Ramadhani (2018, PDF) mencatat terdapat instruksi dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada setiap guru agar melakukan tekanan terhadap siswi yang masih nekat berjilbab.

Pemaksaan berjilbab

Ilustrasi pemaksaan jilbab di kalangan pelajar (foto: Istimewa)
Ilustrasi pemaksaan jilbab di kalangan pelajar (foto: Istimewa)

Persoalan seragam beridentitas keagamaan kerap terjadi di Indonesia. Pada Januari 2021, seorang siswi non muslim di Sumatera Barat protes karena dipaksa memakai jilbab di sekolah. Gejolak itu melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yang ditandatangani Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, pada Februari 2021.

SKB Tiga Menteri itu antara lain mengatur sekolah negeri tidak boleh mewajibkan seragam yang identik dengan agama seperti jilbab kepada siswi. Sebaliknya, sekolah negeri juga tidak boleh melarang peserta didik mengenakan seragam sesuai agama yang diyakini.

Kepala daerah dan kepala sekolah yang telah membuat aturan wajib berjilbab di sekolah, pemerintah mengharuskan untuk mencabut atau membatalkannya berdasar SKB Tiga Menteri ini.

Sekolah Negeri semestinya jadi etalase kebhinekaan

Sekolah negeri dibiayai oleh negara, sudah seharusnya menjadi institusi yang inklusif dan semua memiliki kesempatan yang sama.

Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengecam keras kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri.

Menurut Halili, pemaksaan penggunaan simbol keagamaan merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani.

Pemaksaan pemakaian jilbab yang dilakukan oleh guru, kata dia, merupakan pelanggaran dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur di sekolah-sekolah milik negara tersebut.

Kasus yang selalu berulang

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim juga mengkritik kasus tersebut. Ia menjelaskan kasus seperti ini bukan hanya baru-baru ini, melainkan sudah sering terjadi dan hampir tiap tahun terjadi.

Misalnya adanya dugaan seorang siswi non-muslim dipaksa memakai jilbab oleh pihak sekolah SMA Negeri 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu (Rohul) Riau pada 2018. Kemudian juga terjadi di SMK Negri 2 Padang, Sumatera Barat pada 2021.

Tak hanya itu, larangan bagi pelajar perempuan mengenakan hijab juga terjadi di sejumlah daerah. Seperti SDN Nomor 070991 di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara pada Juli 2022. Kemudian juga di SD Inpres 22 Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

“Ini menjadi catatan buram pendidikan nasional karena terus terjadi. Ini penyakit yang terjadi setiap tahunnya,” kata Satriawan.

Melihat kejadian yang terus berulang itu, kata Satriwan, tidak bisa hanya guru yang disalahkan. Tetapi pemerintah daerah juga harus disoroti.

Seperti dalam beberapa kasus yang terkadi, kata dia, pemaksaan penggunaan hijab bagi seorang pelajar perempuan dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat melalui surat edaran dan juga imbauan dengan dasar kearifan lokal.

Sementara itu, kepala sekolah dan guru hanya melaksanakan saja perintah dari para kepala daerah yang mengeluarkan surat tersebut.

“Jadi surat kebijakan dari pemerintah daerah itu justru yang menjadi faktor utama intoleransi dan diskriminasi di sekolah dengan alasan local wisdom. Jadi bukan spesifik di guru,” tuturnya.

Namun, jika terbukti kesalahan tersebut dari kepala sekolah ataupun gurunya, maka pemerintah bisa menindak dengan peraturan yang berlaku, baik bagi guru honorer maupun Aparatur Sipil Negara (ASN).