INFO BANDUNG BARAT—Pemerintah merencanakan kenaikan PPN sebesar 1% pada tahun 2025. Sebelumnya PPN. adalah 11%, direncanakan nail menjadi 12%.

Meskipun hanya bertambah 1%, ternyata banyak ekonom yang mengatakan, penerimaan negara tidak bisa langsung terdongkrak hanya karena kenaikan ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan jika kebijakan ini tidak datang begitu aja. Ia mengatakan, pemerintah sudah memikirkan banyak hal sebelum memutuskan untuk menaikan PPN yang akan mulai berlaku 1 Januari 2025 nanti.

“Ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah-olah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain,” kata Sri Mulyani

Sri Mulyani terkait kenaikan PPN 12% (foto: Istimewa)

Barang-Barang Kena PPN

PPN adalah pajak yang dibayar konsumen ketika membeli barang atau jasa yang termasuk objek pajak. Barang-barang yang terkena PPN cukup banyak, mulai dari elektronik, pakaian, tanah dan bangunan, hingga makanan olahan. Bahkan, layanan streaming seperti Spotify dan Netflix juga akan terkena PPN.

Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan jika kenaikan 1% itu setara dengan tambahan sekitar Rp 70 triliun dari total penerimaan PPN tahun ini yang sudah nyentuh Rp 730-an triliun.

Tapi, ada juga yang tidak sepenuhnya setuju. Piter Abdullah, Direktur Eksekutif Segara Institute, misalnya, dia mengatakan jika kenaikan tarif ini bisa saja tidak meningkatkan penerimaan negara.

Apalagi, daya beli masyarakat sekarang sedang sangat lemah. Jadi, bukan tidak mungkin jika kebijakan ini malah membuat orang menjadi lebih irit belanja.

Alih-alih mendapat tambahan pajak, bisa jadi pemerintah malah harus menggelontorkan anggaran untuk program perlindungan sosial agar daya beli masyarakat tidak semakin anjlok.

Ronny Sasmita, analis ekonomi, mengatakan ada beberapa dampak berantai yang akan dirasakan akibat kenaikan PPN ini.

1. Penurunan Daya Beli

Kelas menengah bisa jadi yang paling terdampak, karena mereka yang paling banyak belanja. Sejak dua tahun terakhir, daya beli sudah menurun, dan kenaikan harga barang akan semakin menambah beban.

Bahkan, daerah yang jauh dari kota pun akan merasakan dampaknya karena sekarang ritel modern sudah sampai ke desa-desa. Jadi, tidak hanya kota besar saja yang akan merasakan, tapi juga di pelosok-pelosok.

“Secara umum akan terdampak ke semua (lapisan masyarakat), tergantung persentase pengaruhnya. Toh retail-retail modern hari ini sudah sampai ke desa-desa. Namun yang akan paling terpukul kelas menengah tentunya,” kata Ronny.

2. Penurunan Konsumsi

Karena harga barang jadi naik, masyarakat pastinya bakal lebih irit. Dengan permintaan yang turun, produksi barang dan jasa juga berpotensi bakal berkurang.

“Jika permintaan turun, konsumsi rumah tangga turun, maka prospek investasi di Indonesia akan memburuk, karena investor akan berpikir ulang untuk membuka investasi baru lantaran performa pasarnya juga menurun atau terus terkontraksi,” tambah Ronny.

3. Risiko Ketenagakerjaan

Jika produksi barang turun, ada kemungkinan PHK akan meningkat. Bisa jadi perusahaan menunda investasi karena pasar yang sedang tidak stabil. Ini membuat situasi makin runyam. Jadi, perlu ada langkah strategis agar hal ini tidak terjadi.

4. Pertumbuhan Ekonomi

Dan yang paling berat, target pertumbuhan ekonomi yang 5,2% di tahun 2025 bisa jadi sulit tercapai.

Dengan daya beli yang lemah dan permintaan yang turun, bisa saja penerimaan negara dari PPN jadi tidak maksimal. Malah, ada kemungkinan pemerintah akan kesulitan dalam mendongkrak ekonomi.

“Pun secara fiskal, meskipun PPN naik, tapi imbasnya bisa membuat penerimaan negara justru menurun, karena berpotensi menurunkan permintaan di masa mendatang, yang membuat penurunan produksi yang berpotensi menurunkan penerimaan negara dari PPN secara nominal,” pungkas Ronny.