INFO BANDUNG BARATBelakangan gempa bumi sering melanda wilayah Bandung Raya. Terparah adalah rusaknya beberapa bangunan di daerah Kertasari dan Pangalengan Kabupaten Bandung akibat gempa berkekuatan 5 skala richter pada Rabu (18/9/2024). Gempa tersebut juga menyebabkan sebagian warga mengalami luka-luka.

Pengetahuan Canggih Leluhur Sunda

Bicara soal gempa dan fenomena alam lainnya, leluhur Sunda ternyata memiliki pengetahuan mitigasi bencana yang sangat canggih dibandingkan dengan teknologi zaman sekarang.

Dilansir dari situs resmi Ini Mah Sumedang yang mengutip Kanal Media Universitas Padjajaran, Pemerhati Budaya Sunda dari Lembaga Adat Karatuan Padjadjaran, Rd., Ir. Roza Rahmadjasa Mintaredja, M.Ars., mengatakan bahwa nenek moyang Sunda sudah paham mitigasi gempa. Hal ini terlihat dari arsitektur masyarakat zaman dahulu.

“Kita bisa melihat bahwa zaman bihari nenek moyang kita sudah paham akan gempa dan sudah memitigasi terhadap gempa itu dengan bangunan-bangunan konstuksi arsitektur yang tahan gempa sampai 9 atau 10 skala richter,” kata Roza dalam Keurseus Budaya Sunda dengan materi “Arsitektur Sunda”.

Bangunan nenek moyang biasanya berbahan batu, kayu, dan bambu. Salah satu kelebihan penggunaan bambu adalah memiliki daya lentur. Penggunaan bambu tersebut didasarkan karena nenek moyang sudah mengerti akan mitigasi terhadap bencana gempa. Sebagai wilayah yang masuk kawasan zona cincin api (ring of fire) dengan jumlah 140 gunung berapi dan pertemuan antara lempeng Sunda dan lempeng Australia, wilayah ini rawan mengalami gempa vulkanik ataupun tektonik.

Masyarakat masa kini yang seakan tidak memiliki antisipasi untuk tinggal di cincin api (ring of fire) dan rawan terkena bencana gempa. Padahal, tinggal di zona cincin api, harus ada mitigasi bencana secara serius.

Pengetahuan Leluhur tentang Mitigasi Bencana Terpinggirkan Modernisasi

Seiring masuknya modernisasi dan globalisasi, pengetahuan leluhur menjadi makin terpinggirkan. Bahkan banyak orang menganggapnya kuno dan tidak lagi relevan. Alhasil, kita jadi kian bergantung pada macam-macam pengetahuan modern hasil produksi negara asing.

Ketika keanekaragaman tersebut juga berdampak pada risiko kebencanaan, kita menjadi gamang melihat banyaknya korban jiwa akibat bencana, salah satunya gempa bumi. Pengetahuan modern, yang kita yakini kebenarannya, gagap menyikapi problem kebencanaan di sekitar kita.

Padahal negara ini telah memiliki memori dan akar kebudayaan yang dekat dengan bencana alam. Hampir setiap generasi telah merasakan bencana alam. Sedari nenek moyang sampai ke cicit-cicit penerusnya. Namun, kenapa hari ini kita gagal menanggulanginya?

Kembali pada Pengetahuan Leluhur

Pengetahuan leluhur sejatinya telah menyediakan peringatan bagi generasi selanjutnya agar bersahabat dengan alam. Bahkan bencana yang timbul sekalipun. Melalui pantangan dan tabu—yang kerap dipercaya sebagai metode usang—nyatanya telah memberi kesadaran bahwa segala elemen kehidupan, seperti tanah, air, pohon, dan hewan adalah saudara manusia.

Kesadaran tersebutlah yang memungkinkan masyarakat dapat mengantisipasi bencana alam, seperti tsunami, gunung meletus, bahkan gempa bumi sekalipun. Dalam kebudayaan Sunda sendiri, gempa bumi bukanlah suatu peristiwa yang baru. Memori dan pengetahuan leluhur kita telah menyediakan upaya mitigasi, sehingga generasi penerus dapat mengantisipasinya.

Salah satu manifestasi dari pengetahuan tersebut telah diterapkan pada seni arsitektur. Pada rumah dengan arsitektur khas Sunda, terdapat konsep umpak sebagai pondasi rumah. Umpak tersebut memiliki fungsi sebagai penyangga bangunan yang terbuat dari kayu.

Sebuah rumah tradisional Sunda dengan atap “Julang Ngapak” dan ornamen “Capit Gunting” di Garut, Jawa Barat sebagai upaya mitigasi bencana. (Foto: Tropenmuseum Belanda)

Selain pada pondasinya, terdapat pula sistem pengikat yang menggunakan pupurus (pen dan lubang) dan paseuk (pasak). Sistem ini digunakan dari rangka lantai, dinding, kuda-kuda, sampai balok yang dapat dipasang sambung. Adapun atapnya menggunakan bahan yang ada di sekitar tanah Sunda, seperti tali ijuk, sabut kelapa, dan daun rumbia.

Secara keseluruhan material yang terpakai dalam arsitektur khas Sunda cenderung tipis dan sederhana. Meskipun demikian, banyak pihak yang menilai bahwa sistem arsitektur semacam itu telah teruji dan dapat terhindar dari risiko gempa bumi. Bahkan di lapangan saya sempat menjumpai masyarakat yang masih menggunakan sistem arsitektur tersebut. Saat ini kondisi rumahnya masih tetap dalam keadaan berdiri kokoh.

Akan tetapi, masyarakat hari ini lebih tertarik menggunakan sistem arsitektur yang modern, seperti penggunaan beton, teralis besi, paku, dan genting. Padahal dalam memori dan pengetahuan leluhur, penggunaan material tersebut bertentangan dengan aturan alam dan leluhur mereka.***