INFO BANDUNG BARAT—Sebagai makanan pokok, padi mendapatkan penghormatan khusus dalam banyak kebudayaan di Indonesia, tidak terkecuali di Jawa Barat. Makna dari penghormatan padi adalah untuk menghindari disia-siakannya padi dan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Penghormatan tersebut disimbolkan seorang dewi yang dikenal Nyai Sri Pohaci.

Mengenai padi dan nasi, secara lengkap dibahas dalam Wawacan Sulanjana (abad ke-17). Naskah ini selain bercerita mengenai asal-usul padi yang berkaitan dengan Nyai Sri Pohaci, juga mengenai cara menanak nasi dan Sulanjana yang merupakan pelindung padi.

Bagi Masyarakat Sunda, padi sangat erat kaitannya dengan Nyai Sri Pohaci atau yang dalam Mitologi Jawa dikenal sebagai Dewi Sri dan dikaitkan dengan Dewi Laksmi dalam Agama Hindu. Nyai Sri Pohaci adalah seorang Dewi yang dipercaya memberkati padi di dunia.

Awal mula tercetusnya mitologi Nyai Sri Pohaci

Mitosnya bermula ketika Sang Hyang Guru akan membuat dua balai di Bale Bandung. Ia menyuruh Sang Hyang Narada agar memerintah para dewa mencari ramuan untuk membuat balai tersebut. Dewa Anta (Anta Boga), Dewa berwujud ular naga menangis karena ia tidak memiliki tangan untuk melakukan tugas dari Sang Hyang Guru. Tangisan Dewa Anta tersebut berubah menjadi tiga butir mutiara yang oleh Sang Hyang Narada diperintahkan untuk diberikan pada Sang Hyang Guru.

Ilustrasi mitologi Nyai Sri Pohaci (foto: Pinterest)

Dewa Anta membawa ketiga butir mutiara itu di dalam mulutnya dan dalam perjalanannya menemui Sang Hyang Guru, seekor burung elang menanyakan hendak kemana dirinya. Dewa Anta tidak bisa menjawab karena di dalam mulutnya ia menyimpan mutiara.

Si burung elang pun marah karena pertanyaannya tidak dijawab, ia menyambar Dewa Anta dan dua dari tiga mutiaranya jatuh ke Bumi, kemudian pecah dan menjadi anak babi yang bernama Kalabuat dan seekor Budug Basu, yaitu binatang setengah anjing dan setengah babi.

Satu mutiara lagi berhasil diberikan pada Sang Hyang Guru dan setelah menetas menjadi gadis cantik yang diberi nama Nyai Sri Pohaci atau Nyai Asri. Kecantikan Nyai Asri membuat Sang Hyang Wenang khawatir Sang Hyang Guru ingin menikahinya, karenanya setelah berbicara dengan Para Dewa yang lain, mereka setuju untuk meracuni Nyai Pohaci.

Nyai Pohaci pun meninggal sebagai perawan suci, dan konon, karena kesuciannya dari dirinya tumbuh tumbuh-tumbuhan yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh manusia, yang paling terkenal adalah dari kakinya tumbuh padi.

Kisah tentang padi dan nasi yang secara khusus dipaparkan dalam satu wawacan tersendiri menggambarkan bagaimana padi sangat terhormat bagi masyarakat Sunda. Kasih para dewa dan dewi dipancarkan melalui padi yang merupakan makanan pokok bagi mayoritas Masyarakat Sunda. Dari penciptaannya sendiri, Orang Sunda percaya padi adalah bentuk kasih sayang Nyai Pohaci terhadap mereka.

Makna dari ‘nasi menangis’ jika tidak dihabiskan

Upacara penghormatan Dewi Sri yang paling terkenal pada Masyarakat Sunda adalah Seren Taun yang rutin di adakan di beberapa kampung adat di Jawa Barat.

Upacara Seren Taun di Kasepuhan Ciptagelar (foto: Kemenparekraf)

Selain dalam bentuk upacara, penghormatan pada padi ditunjukan dalam berbagai pamali. Di antaranya tabu bagi seseorang membuang-buang beras atau nasi. Sampai saat ini anak-anak masih diajarkan kalau membuang-buang beras atau nasi maka nasi itu akan menangis karena beras dipersonifikasikan sebagai Nyai Pohaci. Bersiul di dekat leuit juga merupakan pamali karena akan menakut-nakuti Sang Dewi.

Padi selain menjadi bahan makanan juga menyimpan makna lain, yaitu kebersamaan, saling berbagi dan tidak tamak. Ketika semula ditanam, penanaman padi dikerjakan bersama-sama. Ketika mengangkut padi yang sudah kering maka diangkat pun bersama–sama, umumnya memang oleh bapak dan anak laki-lakinya. Namun ketika padi yang dihasilkan banyak, tetangga bukan menjadi sirik tapi justru membantu mengangkut padi dan memasukannya ke leuit.

Bukti dari padi bermakna sosial yang lain adalah sebenarnya masyarakat Sunda disarankan untuk tidak memperjualbelikan beras. Beras seharusnya diberikan secara sosial bila memang ada kelebihan. Karenanya, untuk mengakali hal ini, warung-warung memberikan nasi secara cuma-cuma, yang dibayar oleh pembeli adalah lauk-pauknya.

Hilangnya kesakralan padi

Hilangnya kesakralan dan makna dalam padi membuat padi hanya sebagai makanan dan komoditas yang diperjualbelikan. Semakin banyaknya pilihan makanan pokok yang masuk dari luar negeri seperti mie, roti, dan kentang membuat nasi, meski masih menjadi makanan pokok utama mayoritas penduduk Indonesia khususnya orang Sunda, tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan makanan yang ada. Beras bisa didapat oleh siapa saja tanpa harus bekerja keras di ladang selama ia mampu membayar.

Ironisnya, kemudahan ini tidak diiringi dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Meski mereka tidak perlu membanting tulang untuk menanam dan memanen padi. Memasak nasi pun sekarang lebih mudah dengan adanya alat-alat elektronik, kita tidak lagi menunggu lama untuk memasak nasi.

Indonesia yang konon merupakan negara agraris dan wilayahnya begitu luas justru tidak bisa memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Sehingga mengimpor beras dari negara-negara tetangga. Hilangnya makna kebersamaan padilah yang membuat padi kini justru menjadi barang mahal bagi sebagian orang. Bencana kelaparan banyak terjadi dan pemerintah harus menyubsidi beras dan menggratiskannya bagi warga yang kekurangan.

Ilustrasi krisis beras (foto: Tempo)

Bila semula tabu menjual padi, saat ini kebanyakan orang bersikap pelit terhadap beras. Kalau memang ada yang butuh, tentu harus membeli. Beras dijual besar-besaran. Bahkan yang mencari untung sendiri akan menimbun beras agar beras menjadi langka dan beras timbunan bisa dijual mahal.

Beras pun disia-siakan, masyarakat Sunda dahulu menabukan membuang-buang beras karena mereka merasakan sulitnya mendapatkan beras. Suatu saat, bisa saja terjadi bencana, sehingga baik adanya kalau mereka bersiap-siap dengan menimbun padi. Tentu menimbun padi di sini berbeda dengan menimbun padi sekarang yang bertujuan untuk mencari untung.

Karena beras dianggap mudah dibeli, anak-anak tidak lagi diajarkan pamali dalam membuang-buang makanan terutama nasi. Akibatnya, ketika makan ia akan mengambil makanan banyak-banyak dan membuangnya begitu saja ketika sudah kenyang. Padahal, tidak hanya secara adat, masyarakat Indonesia khususnya Sunda. Secara agama pun diajarkan untuk mengambil makanan secukupnya agar tidak membuang-buang makanan.

Hilangnya kearifan lokal dan penghormatan pada padi inilah yang secara ironis menyebabkan kurangnya pangan di saat pangan dijual bebas.***