INFO BANDUNG BARAT—Semua ekosistem wilayah adat terikat dalam hubungan timbal balik. Manusia tidak dianggap lebih unggul dari alam dan alam diciptakan bukan untuk melayani manusia. Semuanya memiliki peranan yang sama dan saling menjaga.
Banyaknya kasus sengketa lahan yang melibatkan masyarakat adat menimbulkan citra kurang baik bagi komunitas ini. Nilai-nilai luhur pada kehidupan masyarakat adat seolah-olah sirna oleh sejumlah ”konflik” persengketaan. Padahal, perseteruan dan perebutan bukanlah tabiat masyarakat adat. Kelompok ini justru lekat dengan upaya pelestarian lingkungan demi menjamin keberlangsungan kehidupan.
Secara historis, masyarakat adat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat dunia. Bahkan, mereka dapat dianggap sebagai peletak pondasi sistem-sistem sosial dari awal peradaban manusia hingga era modern saat ini. Oleh karena itu, lazim apabila seluruh negara mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat adat di wilayahnya masing-masing.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok individu yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Ada empat nilai penting yang mendasari terbentuknya masyarakat adat, yaitu identitas budaya, wilayah adat, sistem nilai dan pengetahuan, serta hukum dan kelembagaan adat.
Identitas budaya mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan dengan kelompok lainnya. Semakin banyak masyarakat adat di suatu wilayah atau negara, maka bahasa daerah serta kebudayaan yang berkembang juga berlimpah.
Identitas budaya tersebut membutuhkan tempat berpijak yang dikenal sebagai wilayah adat. Wilayah ini bernilai sangat penting karena menjadi ruang hidup dan penghidupan masyarakat. Wilayah adat meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam yang dilihat sebagai kesatuan nilai ekonomi, keagamaan, serta ikatan sosial-budaya.
Setelah memiliki identitas dan ruang kehidupan itu, unsur pembentuk masyarakat adat berikutnya adalah hukum dan kelembagaan. Unsur ini berisi norma-norma, aturan, dan tata kepengurusan hidup komunal sebagai satu kelompok dengan beragam kesamaan. Kelembagaan adat menjadi penegak pranata sosial dan norma yang telah dijalankan sejak dahulu kala.
Nilai Ekonomi
Masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang lebih inklusif dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan satu kelompok di wilayah yang sama. Pengembangan sistem ekonomi telah berjalan lama dan semuanya hampir berbasis sumber daya alam. Baru beberapa dekade terakhir muncul interaksi ekonomi seiring datangnya perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Akses terhadap sumber daya alam merupakan aspek vital bagi hampir keseluruhan masyarakat adat. Keragaman lanskap hutan seperti gunung, perbukitan, sungai, tanaman, dan hewan menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan harian dan ekonomi.
Nilai Ekologi
Urgensi pengelolaan lingkungan makin menguat seiring makin buruknya dampak krisis iklim yang dirasakan. Masyarakat adat memiliki sejarah panjang dalam menjaga ekosistem hutan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Pemanfaatan alam bersifat domestik sehingga tidak terjadi pengambilan secara berlebihan. Mengambil secukupnya sesuai kebutuhan.
Adat kebiasaan tersebut membuat kawasan adat menjadi tetap lestari dan terjaga lingkungannya. Nilai-nilai kearifan lokal mengikat masyarakat adat dalam konsep pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, masyarakat adat Baduy dalam memiliki larangan panen setahun dua atau tiga kali, serta harus menggunakan produk yang diambil langsung dari alam, bukan buatan pabrik.
Suku Boti di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, memiliki aturan melarang menebang pohon kecuali ada kebutuhan sangat mendesak. Masyarakat juga selalu membersihkan tanah perkampungan mereka dari sampah. Suku Korowai di Papua hidup berdampingan langsung dengan alam. Mereka membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian 50-60 meter.
Adat kebiasaan tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam konsep menjaga kelestarian alam dan hutan. Masyarakat adat menjadi salah satu tokoh penting dalam upaya pengendalian dampak krisis iklim akibat pemanasan suhu bumi. Apabila ditarik ke level global, populasi masyarakat adat yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen, terbukti mampu menjaga dan mengelola lebih dari 80 persen biodiversitas bumi.
Menurut studi UNESCO, masyarakat adat telah hidup seimbang dengan alam dan memiliki pengetahuan untuk menilai perubahan-perubahan di alam seperti cuaca dan spesies baru.
Sayangnya, kearifan lokal yang terjaga secara turun-temurun itu harus menghadapi posisi yang dilematis. Pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur terus menggerus kedaulatan masyarakat adat tanpa mampu dilawan. Hutan dan lingkungan yang dijaga akhirnya terdegradasi sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat. Semakin sulit mendapatkan pangan dari alam serta muncul tekanan-tekanan dari pihak luar yang berpotensi memicu permusuhan.
Tentu saja, penurunanan kualitas lingkungan dan munculnya potensi konflik tersebut bertentangan dengan konsepsi masyarakat adat yang telah mendefinisikan alam sebagai bagian dari keberlangsungan hidupnya. Semua ekosistem wilayah adat yang mencakup hewan, tumbuhan, tanah, manusia, dan roh semuanya terikat dalam hubungan kekerabatan. Artinya, manusia tidak dianggap lebih unggul dari alam dan alam diciptakan bukan untuk melayani manusia. Semuanya memiliki peranan yang sama dan saling menjaga sehingga tetap lestari dan berkelanjutan.***
Komentar 2